Bila kau sedang dekat dengan seseorang, menjadi pertama dikabari saat dia sedang ada masalah, menjadi saksi berbagai prestasi yang tak henti dia ceritakan, atau menjadi kawan penghabis waktu dari senja hingga ufuk rindu, maka ketahuilah bahwa hatimu sedang berada dalam bahaya.
Lewat tulisan ini, aku hadir bukan
untuk menyelamatkanmu. Membawa kesadaranmu menyelami luka lebih dalam. Sebab
kedekatan sering kali mematikan nalar, membius lewat kenyamanan, membunuh lewat
pujian.
Ketahuilah, sekali pun dia tidak
pernah menginginkanmu. Dia hanya benci sendiri, keangkuhannya butuh ditemani,
dan hatinya butuh disanjung atas berbagai kisah perih yang pernah dia lewati.
Nyatanya, bukan kau, kan, yang
selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Mari kita telaah lebih jauh. Suatu
hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekadar paling. Kau dan
dia sadar untuk menjalani dengan aktif dan partisipatif.
Setiap cerita, kejadian, gagasan,
mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi
kesepian.
Saat menangis, tertampunglah air
mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang
berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya
kebersamaan.
Lalu bila kau ketahui tidak pernah
ada kesempatan yang sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya
kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya
menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke
tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat kedinginan.
Saat kau dibutuhkan, kau harus
segera datang. Ketika kau butuh pertolongan, pesanmu seakan menghilang. Tidak
lama kemudian, kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal
diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan
dalih tak enak hati, kau tetap setia untuknya,
Saking seringnya kau ada untuknya,
sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia
tanggapi dengan menanyakan posisi. Kau sudah siap berangkat, lalu dia
menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku.
Kenapa bisa ada seseorang yang
mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa
dihubungi? Itu kenapa? Kok, ada sih, orang-orang yang memainkan khawatir
sebegitu hebatnya?
Ambil kendaraanmu segera, terutama
yang sering kau gunakan untuk menjemput raganya. Telusuri semua tempat di
kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, kafe ternama,
angkringan, kantin kampus, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi
gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekadar saksi bisu.
Apa? Suap-suapan? Saling sentuh
hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama
sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya di sekitarmu. Sudahlah. Dia
hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.
Nyatanya, bukan kau, kan, yang
selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?
Bagaimana? Nikmat bukan rasanya
bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat, lho, itu hatimu bisa bertahan
begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya.
Tunas muncul, bunga semerbak harum,
matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa
mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di insastories,
kau kicaukan di Twitter, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan
kau yang merasakan manisnya.
Dia tidak mencintaimu. Dia hanya
sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.
Nyatanya, bukan kau, kan, yang
selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.
Aku
sangka kau tertarik padaku, ternyata kau hanya tak enak bila membiarkan
pesanku.
Mantap nian, pagiku beku dihantam kenyataan.
0 komentar:
Posting Komentar