Senin, 01 Februari 2021

Transit

            Bila kau sedang dekat dengan seseorang, menjadi pertama dikabari saat dia sedang ada masalah, menjadi saksi berbagai prestasi yang tak henti dia ceritakan, atau menjadi kawan penghabis waktu dari senja hingga ufuk rindu, maka ketahuilah bahwa hatimu sedang berada dalam bahaya.

            Lewat tulisan ini, aku hadir bukan untuk menyelamatkanmu. Membawa kesadaranmu menyelami luka lebih dalam. Sebab kedekatan sering kali mematikan nalar, membius lewat kenyamanan, membunuh lewat pujian.

            Ketahuilah, sekali pun dia tidak pernah menginginkanmu. Dia hanya benci sendiri, keangkuhannya butuh ditemani, dan hatinya butuh disanjung atas berbagai kisah perih yang pernah dia lewati.

            Nyatanya, bukan kau, kan, yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?

            Mari kita telaah lebih jauh. Suatu hubungan indah bila yang terjadi adalah saling, bukan sekadar paling. Kau dan dia sadar untuk menjalani dengan aktif dan partisipatif.

            Setiap cerita, kejadian, gagasan, mimpi, pencapaian, hingga lelah seharian, kau dan dia bergantian mengisi kesepian.

            Saat menangis, tertampunglah air mata. Begitu pula saat bahagia, terbagi dengan bijaksana. Tidak ada yang berlebihan. Semua terbagi secara optimal tanpa mengerdilkan potensi hangatnya kebersamaan.

            Lalu bila kau ketahui tidak pernah ada kesempatan yang sama saat kau dan dia duduk di satu meja, sudah sepantasnya kau bunyikan sirine tanda bahaya. Berjam-jam kau dengarkan keluh kesahnya menanggapi hal-hal asing yang sebenarnya kau tak begitu peduli, membawanya ke tempat-tempat menenangkan, memberi rasa aman, menyiapkan jaket saat kedinginan.

            Saat kau dibutuhkan, kau harus segera datang. Ketika kau butuh pertolongan, pesanmu seakan menghilang. Tidak lama kemudian, kau temukan pesan berhias maaf dan ajakan ketemuan, atau minimal diminta menemani makan. Lagi-lagi kau harus mendengar ceritanya dan dengan dalih tak enak hati, kau tetap setia untuknya,

            Saking seringnya kau ada untuknya, sehari tak direpotkan seperti ada yang kurang. Kau mulai menanyakan kabarnya, dia tanggapi dengan menanyakan posisi. Kau sudah siap berangkat, lalu dia menghilang lagi. Ini yang paling menyita logika berpikirku.

            Kenapa bisa ada seseorang yang mengajak bertemu, begitu sudah siap untuk ditemui, tiba-tiba dia tidak bisa dihubungi? Itu kenapa? Kok, ada sih, orang-orang yang memainkan khawatir sebegitu hebatnya?

            Ambil kendaraanmu segera, terutama yang sering kau gunakan untuk menjemput raganya. Telusuri semua tempat di kotamu. Lihat, di situ, iya, di kedai kopi, warung makan, kafe ternama, angkringan, kantin kampus, tempat-tempat yang pernah kau sangka akan menjadi gerbang terbukanya hatinya untukmu itu hanya sekadar saksi bisu.

            Apa? Suap-suapan? Saling sentuh hidung? Cubit pipi? Membaca garis tangan masing-masing? Saling menatap lama sambil tersenyum? Senggol-senggol manja? Itu hanya di sekitarmu. Sudahlah. Dia hanya benci sendiri, bukan ingin dilengkapi.

            Nyatanya, bukan kau, kan, yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan?

            Bagaimana? Nikmat bukan rasanya bertahan dalam kesakitan? Mantap betul. Hebat, lho, itu hatimu bisa bertahan begitu lama menyaksikan tumbuh kembang sakitnya.

            Tunas muncul, bunga semerbak harum, matang buah sedap nan ranum. Kau yang merawatnya, menyirami setiap hari tanpa mengeluh, memupuk dengan sabar, membanggakan ke setiap orang, kau unggah di insastories, kau kicaukan di Twitter, hingga tiba waktu panen, kau memetiknya namun bukan kau yang merasakan manisnya.

            Dia tidak mencintaimu. Dia hanya sedang kesepian dan kebetulan ada kamu.

            Nyatanya, bukan kau, kan, yang selama ini dia ceritakan sebagai kesayangan.

Aku sangka kau tertarik padaku, ternyata kau hanya tak enak bila membiarkan pesanku.

Mantap nian, pagiku beku dihantam kenyataan.

0 komentar:

Posting Komentar