Sabtu, 15 Desember 2018

Apa Kabar?


Apa kabar?
Sebuah pertanyaan klise ketika seseorang sedang dalam fase merindu. Merindu dengan orang yang pernah sangat dekat hingga sadar bahwa kedekatan yang pernah terjadi hanyalah tak lebih dari sekadar elegi.

Saat itu.
Saat itu kau hadir menjumpai kehidupanku. Saat dimana fase baru dalam hidup ini yang baru akan dimulai. Saat perjumpaan kita yang pertama hingga aku mengajakmu berkenalan di kala kau sedang menunggu hujan reda saat itu. Saat dimana akhirnya kita punya kontak media sosial masing-masing dan membahas banyak hal. Saat itu di bulan yang cukup banyak kegiatan . Saat itu pula kita sering berjumpa hingga akhirnya aku menawarkan untuk mengantarkanmu sampai ke rumah dan kau mengizinkan. Selepas itu, rasanya menjadi amat sering ku berkunjung ke rumahmu. Masih teringat jelas semua cerita dan pengalaman yang kau bagikan di teras depan rumahmu saat itu. Obrolan ringan dan kadang serius menemani malam kita saat itu. Masih teringat betul bagaimana senyum dan tawamu saat itu. Tak ketinggalan aku mengakrabkan diri dengan keluargamu. Menyenangkan rasanya bisa akrab dengan mereka. Saat itu aku mulai merasakan ada hal yang berbeda ketika sedang bersamamu. Saat itu aku merasa bahwa apa yang sedang kurasakan ini berbeda dari biasanya. Sebuah kehangatan dan kenyamanan yang aku rasakan di hati ini. Perasaan yang terluap dan tidak bisa dipungkiri lagi. Perasaan untuknya.

Saat itu aku yakin jika kau hadir benar-benar memberi warna tersendiri bagi hati ini. Aku yakin bahwa kebersamaan seperti ini akan terus berlanjut meski kita berdua menyadari bahwa banyak hal-hal yang siap menghadang di depan. Saat itu aku yakin bahwa apa yang akan kita jalani nanti bisa kita lalui bersama. Saat itu aku yakin bahwa jarak dan kesibukan hanyalah sebuah kerikil yang siap menghadang perjalanan kita yang baru akan dimulai. Saat itu aku yakin bahwa kita akan tetap bisa terus seperti ini. Namun aku sadar, itu hanyalah sebuah pemikiran yang sangat mengedepankan egoisme. Pada awalnya memang semua terasa seperti biasanya. Tapi hal-hal yang kuperkirakan pun datang juga. Aku mendengar kabar kau mendapat sebuah tanggung jawab yang cukup besar disana. Sebuah tanggung jawab yang menyita seluruh tenaga dan pikiranmu. Sebuah tanggung jawab yang tidak bisa kubantu dengan apapun. Lambat laun interaksi diantara kita memudar. Memang bukan hanya kau yang disibukkan dengan tanggung jawabmu, tetapi aku juga. Tidak ada lagi cerita yang kau bagikan. Tidak ada lagi senyum yang bisa langsung kulihat. Tidak ada. Yang ada hanyalah pesan berisikan permohonan maaf karena tidak secepat biasanya kau membalas pesan dariku dan pesan yang berisikan kesibukan yang sedang kau hadapi.

Jumpa.
Sudah lama rasanya kita tak bertatap muka. Apakah kau merasakan hal yang sama? Atau kau sendiri lupa kapan perjumpaan terakhir yang kita lakukan? Tidak. Tidak denganku. Aku masih ingat betul kapan terakhir kita membulatkan tekad masing-masing demi sebuah jumpa. Sebuah jumpa yang kau selipkan doa, harapan serta hadiah. Sebuah jumpa yang mengantarkanku untuk kesekian kalinya menuju rumahmu. Sebuah jumpa yang berujung dengan bertemunya kembali aku dengan ayah dan bundamu. Sebuah jumpa yang terasa sudah sangat lama berlalu. Ah atau hanya aku saja yang merasa itu sangat lama atau karena saking rindunya? Biarlah! Karena itu memang yang aku rasakan.

Waktu.
Kalau ada satu harapan yang ingin aku wujudkan saat ini, itu adalah mengulang kembali apa yang kita lalui waktu itu. Bukan, bukan hanya mengulang tetapi terus melakukan hal yang kita lalui tersebut sampai waktu-waktu selanjutnya. Tetapi seperti inilah situasinya sekarang. Waktumu tersita dengan segala kesibukan dan tanggung jawab yang kau emban. Begitu juga denganku. Mungkin jika di awal ku sudah mengutarakan perasaan ini dan kita membuat komitmen terkait permasalahan ini, akan beda ceritanya. Tapi sayang itu hanyalah sebuah angan. Karena sejatinya aku pun tidak tahu. Jujur. Aku sendiri tidak tahu sampai sekarang. Tidak tahu bagaimana perasaanmu sendiri terhadapku. Hanya kamu dan Tuhan yang mengetahui itu. Mungkin salahku juga tidak pernah menanyakan ini langsung kepadamu.

Harap.
Mungkin saat itu aku terlalu naïf. Mengharapkan hal-hal indah akan datang menjumpai kebersamaan kita. Mengharapkan bahwa kita benar-benar mempunyai waktu tersendiri untuk berbagi cerita. Mengharapkan bahwa ada ruang kosong di hatimu yang telah ku isi. Mengharapkan bahwa kita bisa bersama dalam suatu ikatan. Sekali lagi itu semua hanyalah sebuah harapan. Harapan yang kuyakini tidak akan terwujud, untuk saat ini setidaknya. Aku tidak ingin seperti salah satu lagu di album OST 30 Hari Mencari Cinta Sheila On 7, yaitu berhenti berharap. Aku yakin harapan itu tetap terus ada, namun aku tidak tahu kapan itu akan berubah yang dari hanya sebuah harapan menjadi kenyataan. Sejujurnya ku tak ingin ini berakhir. Tidak ingin terjadi perpisahan yang tampak sudah akan menyambut kita. Tidak ingin.

Karena kita, adalah satu ragu yang mengumpul untuk saling menjauhi. Kita, adalah dua hati yang sudah enggan bertegur harap dalam janji. Kita, adalah tiga kata ‘Aku Sayang Kamu’ yang membisu dalam sepi.

1 komentar:

  1. Bagus, ndra, tulisannyaaa!!
    Terus nulis, yah!
    Biar dunia tauu..

    BalasHapus