Jumat, 23 November 2018

Beristirahat Kembali PSSI?


Timnas Indonesia sudah dipastikan gagal melaju ke semifinal Piala AFF 2018 setelah Filipina berhasil menahan imbang Thailand sehingga jumlah poin dari kedua tim tersebut tidak bisa dikejar lagi oleh Indonesia, Singapura, dan Timor Leste.

            Semenjak perhelatan ini dibuat di tahun 1996 yang dulu masih bernama Piala Tiger, timnas Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai raja runner up di ajang ini sebanyak lima kali, yang terakhir terjadi di edisi 2016. Pada tahun 2018 ini, pecinta sepakbola Indonesia tentu berharap lebih dari sekedar runner up. Dahaga akan juara sudah tak bisa terbendung lagi. Selepas Piala AFF 2016, terjadi pergantian dari pos pelatih. Luis Milla ditunjuk sebagai pelatih timnas U22 dan senior dengan kontrak (yang anehnya) hingga perhelatan Asian Games 2018 selesai. Banyak masyarakat Indonesia yang merasa asing ketika mendengar nama Luis Milla, namun sejatinya ia adalah sosok pelatih dengan track record yang cukup baik dalam menjalani karir sebagai pemain maupun pelatih. Milla pernah memperkuat Valencia, Barcelona, dan Real Madrid serta pernah juga memperkuat timnas Spanyol, di karir kepelatihannya prestasi tertinggi yang ia raih adalah membawa Spanyol menjurai Piala Eropa U21 2011 yang kala itu diperkuat oleh David De Gea, Juan Mata, dan Thiago Alcantara. Sebuah CV yang cukup impresif. Semenjak dikontrak di awal 2017, Luis Milla mulai membangun tim dan melaksanakan agenda pertandingan.
Yang pertama adalah kualifikasi Piala Asia U23 yang dimana saat itu Indonesia gagal lolos kualifikasi. Para pecinta sepak bola tentu ada yang kesal, tetapi lebih banyak yang memaklumi karena tim tersebut baru dibentuk sebagai persiapan ke ajang SEA Games dan Asian Games. Pada ajang SEA Games 2017, timnas mulai terlihat meningkatkan performa permainan, namun sayang timnas hanya finish di posisi tiga dan meraih medali perunggu.
Selepas SEA Games, tim ini terus mematangkan diri untuk Asian Games mulai dari training camp hingga pertandingan uji coba. Selama proses ini, bisa dilihat progres yang ditunjukkan oleh tim. Pola permainan timnas Indonesia sudah mulai berubah yang tadinya menandalkan umpan-umpan jauh langsung menuju penyerang menjadi umpan-umpan pendek dan mengandalkan kecepatan pemain-pemain sayap untuk menusuk ataupun melakukan crossing. Pola permainan khas dari negeri matador yang dibawa oleh Luis Milla tidak hanya diterapkan di timnas U22, tetapi juga pada timnas U16 dan U19. Dengan adanya satu filosofi permainan yang sama dari awal usia yang lebih kecil dan terus berkelanjutan pada tingkatan yang lebih tinggi diharapkan dapat menciptakan tim nasional sepakbola Indonesia yang memiliki visi bermain yang jelas dan pola permainan yang sudah tertanam sejak usia muda. Ini yang disebut dengan filosofi sepakbola Indonesia atau dikenal dengan Filanesia.
Dengan filanesia, bisa dikatakan ada kemajuan peroforma yang ditunjukkan oleh timnas Indonesia. Pada Asian Games 2018, Indonesia tergabung di grup A bersama dengan Palestina, Hongkong, Taiwan, dan Laos. Penampilan timnas di fase grup bisa dikatakan impresif dengan tiga kemenangan dan satu kali kekalahan saat melawan Palestina dengan memasukkan sebelas gol dan kemasukan tiga gol. Statistik yang cukup baik bisa dibilang. Timnas pun bisa melaju ke babak enam belas besar. Di babak enam belas besar, timnas berjumpa dengan Uni Emirat Arab, namun sayang timas gagal melaju ke perempat final setelah kalah melalui adu penalti. Target empat besar yang dipasang PSSI tentu tidak tercapai, jika itu indikator keberhasilan timnas menurut PSSI. Tetapi jika melihat performa tim ini di lapangan, kita bisa melihat prospek yang cukup cerah. Dengan tangan dingin Luis Milla yang berpengalaman dengan tim usia muda dan filosofi sepakbola yang modern a la Spanyol yang ia terapkan, tim ini mempunyai asa. Asa menjadikan timnas juara di kemudian hari.
Selepas Asian Games 2018, masa depan dari Luis Milla seolah mengambang. Milla memilih untuk berlibur ke Spanyol sampai menunggu kelanjutan perpanjangan kontrak oleh PSSI. Dimulai dari sini, drama terjadi. Tindakan PSSI seolah-olah tidak ingin memperpanjang kontrak Luis Milla. Dikabarkan bahwa PSSI sudah mengirim orang ke Spanyol untuk bertemu dengan agennya Milla, dan dikabarkan sudah ada kesepakatan dan hanya tinggal menunggu Milla kembali ke Indonesia. Namun, Milla tak kunjung datang juga. Pada 21 Oktober 2018, PSSI menggelar rapat EXCO PSSI dan hasilnya memutuskan untuk menunjuk Bima Sakti sebagai pelatih timnas. Sontak kabar ini mengejutkan banyak pihak. Apa yang terjadi dengan PSSI? Ini semua perlahan-lahan mulai terbongkar. Mulai dari pernyataan Luis Milla yang mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah menyetujui perpanjangan kontrak dari PSSI namun dibatalkan secara sepihak hingga permasalahan penunggkan gaji selama tiga bulan. Milla juga menyebut bahwa tingkat profesionalisme yang rendah dari petinggi PSSI menjadi masalah.
Piala AFF 2018 seolah menjadi ajang pembuktian. Pembuktian bagaimana reaksi dari tim ini terkait dengan segala problematika yang menerpa. Kalah di laga pertama melawan Singapura, menang sulit atas Timor Leste, dan kalah dari lawan terkuat Thailand, dan gagal lolos ke semifinal dengan menyisakan satu laga. Menjadi kali keempat bagi timnas untuk gagal lolos ke semifinal Piala AFF atau dulu disebut dengan Piala Tiger. Sejatinya, ada tiga masalah utama yang menyertai tim ini.
Masalah pertama dan mungkin yang utama adalah pelatih. Bima Sakti yang ditunjuk PSSI menggantikan Luis Milla memang bisa dikatakan paling masuk akal karena Bima Sakti sebelumnya merupakan asisten dari Luis Milla selama melatih timnas. Bima tentu sudah paham mengenai dengan pola permainan maupun taktik yang sering diterapkan Luis Milla. Namun, disini letak permasalahannya. Bima Sakti merupakan salah satu pelatih muda di Indonesia, ia bahkan belum pernah sekalipun menjadi pelatih utama sebuah tim. Pengalaman. Ini yang membedakan. Meskipun pola permainan dan komposisi pemain yang hampir sama dengan yang Luis Milla terapkan, tetapi pengalaman dalam melatih menjadi pembeda. Luis Milla tentu sangat kaya akan pengalaman ketika melatih klub-klub di Spanyol dan Uni Emirat Arab serta timnas usia muda Spanyol. Selain itu variasi taktik yang dimiliki oleh Luis Milla pun pasti melimpah karena pengalamannya. Bagaimana taktik yang digunakan saat tim butuh gol, saat tim dalam keadaan tertinggal, dan lainnya. Memang penunjukkan Bima Sakti terlihat paling rasional, tapi di sisi lain juga terlihat sebagai perjudian yang besar. Mempercayakan seorang pelatih yang minim sekali pengalaman pada ajang paling bergengsi di Asia Tenggara yang membawa beban sangat berat dan harapan juara dari pecinta sepakbola nasional.
Permasalahan kedua adalah terkait dengan jadwal liga. Liga 1 masih bergulir ketika Piala AFF 2018 ini berjalan. Sebenarnya ini masalah yang sudah terjadi sejak lama. Namun begitulah PSSI, tidak pernah belajar dari sebelum-sebelumnya. Sejatinya ketika sedang ada agenda tim nasional entah itu pertandingan uji coba atau kompetisi yang berada di bawah naungan FIFA Match Day, liga harus berhenti sementara. Tapi tidak demikian di Indonesia. Jadwal liga amburadul. Semestinya PSSI sudah merencanakan dari sebelum 2018 terkait dengan jadwal liga dan menyikronisasikan dengan jadwal FIFA Match Day dan semestinya liga telah selesai di bulan September atau maksimal akhir Oktober, agar timnas bisa melaksanakan pemusatan latihan untuk Piala AFF 2018 dan para pemain pun bisa fokus di tim nasional dan bisa mendapatkan peak performance. Ini juga dilakukan agar tidak merugikan pihak klub terutama yang sedang memburu gelar juara ataupun berjuang keluar dari zona degradasi sehingga klub-klub tidak kehilangan pemain pilarnya yang membela timnas. Berkaca dari negara-negara tetangga yang kompetisi regulernya sudah selesai jauh sebelum Piala AFF berlangsung. Sekali lagi, inilah permasalahan utama di Indonesia yang rasanya sudah mengakar rumput.
Permasalahan ketiga adalah di internal PSSI. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, atau mungkin bagi Anda yang belum tahu bahwa ketua PSSI saat ini adalah Edy Rahmayadi yang di satu sisi juga menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara. Sejatinya seorang ketua federasi sepakbola tidak diperbolehkan memegang jabatan politik karena ada pada statuta FIFA yang mana bisa berakibat sanksi FIFA oleh tim nasional dari negara yang bersangkutan. Indonesia sudah pernah merasakan sekali sanksi FIFA di medio 2015 hingga 2016, tentunya kita tahu apa dampaknya bagi sepakbola nasional. Liga tidak dapat berjalan yang mengakibatkan para pemain tidak dapat penghasilan untuk memcukupi kebutuhan keluarga hingga tidak dapat berkompetisinya timnas di ajang internasional. Tentu kita semua berharap hal ini tidak terjadi lagi pada Indonesia. Oleh karena itu, sebelum terlambat alangkah bijaknya pak Edy untuk mengundurkan diri sebagai ketua PSSI. Kami tahu untuk mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin satu organisasi saja merupakan hal yang berat, apalagi dua. Pak Edy hanyalah seorang manusia biasa, bukan anggota Avengers. Kami butuh sosok pemimpin yang benar-benar fokus dan totalitas dalam mengemban tanggung jawab di PSSI, bukan hanya sebagai kerjaan sampingan. Kami tahu, pak Edy masih sangat ingin melaksanakan tugas hingga selesai tapi bukan itu yang kami inginkan. Konflik kepentingan di internal PSSI harus dibenahi, permasalahan timnas, liga, wasit, dan suporter pun begitu. Kami membutuhkan orang yang siap untuk mengabdikan dirinya secara penuh untuk PSSI. Kalau pak Edy terus mementingkan ego dibandingkan hati nurani, sampai kapan sepakbola Indonesia akan berbenah? Apakah mau PSSI kembali beristirahat seperti 2015 lalu? Atau memang itu yang sekarang diperlukan PSSI? Beristirahat kembali agar benar-benar berbenah dan berevolusi menjadi federasi sepakbola yang melaksanakan fungsinya dengan maksimal, profesional, dan bermartabat seperti mottonya. Apakah diperlukan kembali sanksi FIFA agar PSSI melakukan revolusi? Bagus kalau terjadi revolusi, kalau tidak bagaimana? Hanya kerugian yang didapat dari sanksi FIFA jika tidak adanay revolusi yang dilakukan oleh PSSI.
Jadi bagaimana PSSI, perlu beristirahat kembali kah?


0 komentar:

Posting Komentar