Timnas Indonesia sudah dipastikan
gagal melaju ke semifinal Piala AFF 2018 setelah Filipina berhasil menahan
imbang Thailand sehingga jumlah poin dari kedua tim tersebut tidak bisa dikejar
lagi oleh Indonesia, Singapura, dan Timor Leste.
Semenjak
perhelatan ini dibuat di tahun 1996 yang dulu masih bernama Piala Tiger, timnas
Indonesia sudah menasbihkan diri sebagai raja runner up di ajang ini sebanyak lima kali, yang terakhir terjadi di
edisi 2016. Pada tahun 2018 ini, pecinta sepakbola Indonesia tentu berharap
lebih dari sekedar runner up. Dahaga akan juara sudah tak bisa terbendung lagi.
Selepas Piala AFF 2016, terjadi pergantian dari pos pelatih. Luis Milla
ditunjuk sebagai pelatih timnas U22 dan senior dengan kontrak (yang anehnya)
hingga perhelatan Asian Games 2018 selesai. Banyak masyarakat Indonesia yang
merasa asing ketika mendengar nama Luis Milla, namun sejatinya ia adalah sosok
pelatih dengan track record yang
cukup baik dalam menjalani karir sebagai pemain maupun pelatih. Milla pernah
memperkuat Valencia, Barcelona, dan Real Madrid serta pernah juga memperkuat
timnas Spanyol, di karir kepelatihannya prestasi tertinggi yang ia raih adalah membawa
Spanyol menjurai Piala Eropa U21 2011 yang kala itu diperkuat oleh David De
Gea, Juan Mata, dan Thiago Alcantara. Sebuah CV yang cukup impresif. Semenjak dikontrak di awal 2017, Luis Milla
mulai membangun tim dan melaksanakan agenda pertandingan.
Yang
pertama adalah kualifikasi Piala Asia U23 yang dimana saat itu Indonesia gagal
lolos kualifikasi. Para pecinta sepak bola tentu ada yang kesal, tetapi lebih
banyak yang memaklumi karena tim tersebut baru dibentuk sebagai persiapan ke
ajang SEA Games dan Asian Games. Pada ajang SEA Games 2017, timnas mulai
terlihat meningkatkan performa permainan, namun sayang timnas hanya finish di posisi tiga dan meraih medali
perunggu.
Selepas SEA
Games, tim ini terus mematangkan diri untuk Asian Games mulai dari training camp hingga pertandingan uji
coba. Selama proses ini, bisa dilihat progres yang ditunjukkan oleh tim. Pola
permainan timnas Indonesia sudah mulai berubah yang tadinya menandalkan
umpan-umpan jauh langsung menuju penyerang menjadi umpan-umpan pendek dan
mengandalkan kecepatan pemain-pemain sayap untuk menusuk ataupun melakukan
crossing. Pola permainan khas dari negeri matador yang dibawa oleh Luis Milla
tidak hanya diterapkan di timnas U22, tetapi juga pada timnas U16 dan U19.
Dengan adanya satu filosofi permainan yang sama dari awal usia yang lebih kecil
dan terus berkelanjutan pada tingkatan yang lebih tinggi diharapkan dapat
menciptakan tim nasional sepakbola Indonesia yang memiliki visi bermain yang
jelas dan pola permainan yang sudah tertanam sejak usia muda. Ini yang disebut
dengan filosofi sepakbola Indonesia atau dikenal dengan Filanesia.
Dengan
filanesia, bisa dikatakan ada kemajuan peroforma yang ditunjukkan oleh timnas
Indonesia. Pada Asian Games 2018, Indonesia tergabung di grup A bersama dengan
Palestina, Hongkong, Taiwan, dan Laos. Penampilan timnas di fase grup bisa
dikatakan impresif dengan tiga kemenangan dan satu kali kekalahan saat melawan
Palestina dengan memasukkan sebelas gol dan kemasukan tiga gol. Statistik yang
cukup baik bisa dibilang. Timnas pun bisa melaju ke babak enam belas besar. Di
babak enam belas besar, timnas berjumpa dengan Uni Emirat Arab, namun sayang
timas gagal melaju ke perempat final setelah kalah melalui adu penalti. Target empat
besar yang dipasang PSSI tentu tidak tercapai, jika itu indikator keberhasilan
timnas menurut PSSI. Tetapi jika melihat performa tim ini di lapangan, kita
bisa melihat prospek yang cukup cerah. Dengan tangan dingin Luis Milla yang
berpengalaman dengan tim usia muda dan filosofi sepakbola yang modern a la Spanyol yang ia terapkan, tim ini
mempunyai asa. Asa menjadikan timnas juara di kemudian hari.
Selepas
Asian Games 2018, masa depan dari Luis Milla seolah mengambang. Milla memilih
untuk berlibur ke Spanyol sampai menunggu kelanjutan perpanjangan kontrak oleh
PSSI. Dimulai dari sini, drama terjadi. Tindakan PSSI seolah-olah tidak ingin
memperpanjang kontrak Luis Milla. Dikabarkan bahwa PSSI sudah mengirim orang ke
Spanyol untuk bertemu dengan agennya Milla, dan dikabarkan sudah ada
kesepakatan dan hanya tinggal menunggu Milla kembali ke Indonesia. Namun, Milla
tak kunjung datang juga. Pada 21 Oktober 2018, PSSI menggelar rapat EXCO PSSI dan hasilnya memutuskan untuk
menunjuk Bima Sakti sebagai pelatih timnas. Sontak kabar ini mengejutkan banyak
pihak. Apa yang terjadi dengan PSSI? Ini semua perlahan-lahan mulai terbongkar.
Mulai dari pernyataan Luis Milla yang mengatakan bahwa sebenarnya ia sudah
menyetujui perpanjangan kontrak dari PSSI namun dibatalkan secara sepihak
hingga permasalahan penunggkan gaji selama tiga bulan. Milla juga menyebut
bahwa tingkat profesionalisme yang rendah dari petinggi PSSI menjadi masalah.
Piala AFF
2018 seolah menjadi ajang pembuktian. Pembuktian bagaimana reaksi dari tim ini
terkait dengan segala problematika yang menerpa. Kalah di laga pertama melawan
Singapura, menang sulit atas Timor Leste, dan kalah dari lawan terkuat Thailand,
dan gagal lolos ke semifinal dengan menyisakan satu laga. Menjadi kali keempat
bagi timnas untuk gagal lolos ke semifinal Piala AFF atau dulu disebut dengan
Piala Tiger. Sejatinya, ada tiga masalah utama yang menyertai tim ini.
Masalah
pertama dan mungkin yang utama adalah pelatih. Bima Sakti yang ditunjuk PSSI
menggantikan Luis Milla memang bisa dikatakan paling masuk akal karena Bima
Sakti sebelumnya merupakan asisten dari Luis Milla selama melatih timnas. Bima
tentu sudah paham mengenai dengan pola permainan maupun taktik yang sering
diterapkan Luis Milla. Namun, disini letak permasalahannya. Bima Sakti
merupakan salah satu pelatih muda di Indonesia, ia bahkan belum pernah
sekalipun menjadi pelatih utama sebuah tim. Pengalaman. Ini yang membedakan. Meskipun
pola permainan dan komposisi pemain yang hampir sama dengan yang Luis Milla terapkan,
tetapi pengalaman dalam melatih menjadi pembeda. Luis Milla tentu sangat kaya
akan pengalaman ketika melatih klub-klub di Spanyol dan Uni Emirat Arab serta
timnas usia muda Spanyol. Selain itu variasi taktik yang dimiliki oleh Luis
Milla pun pasti melimpah karena pengalamannya. Bagaimana taktik yang digunakan
saat tim butuh gol, saat tim dalam keadaan tertinggal, dan lainnya. Memang
penunjukkan Bima Sakti terlihat paling rasional, tapi di sisi lain juga
terlihat sebagai perjudian yang besar. Mempercayakan seorang pelatih yang minim
sekali pengalaman pada ajang paling bergengsi di Asia Tenggara yang membawa
beban sangat berat dan harapan juara dari pecinta sepakbola nasional.
Permasalahan
kedua adalah terkait dengan jadwal liga. Liga 1 masih bergulir ketika Piala AFF
2018 ini berjalan. Sebenarnya ini masalah yang sudah terjadi sejak lama. Namun
begitulah PSSI, tidak pernah belajar dari sebelum-sebelumnya. Sejatinya ketika
sedang ada agenda tim nasional entah itu pertandingan uji coba atau kompetisi
yang berada di bawah naungan FIFA Match
Day, liga harus berhenti sementara. Tapi tidak demikian di Indonesia. Jadwal
liga amburadul. Semestinya PSSI sudah merencanakan dari sebelum 2018 terkait
dengan jadwal liga dan menyikronisasikan dengan jadwal FIFA Match Day dan semestinya liga telah selesai di bulan September
atau maksimal akhir Oktober, agar timnas bisa melaksanakan pemusatan latihan
untuk Piala AFF 2018 dan para pemain pun bisa fokus di tim nasional dan bisa
mendapatkan peak performance. Ini
juga dilakukan agar tidak merugikan pihak klub terutama yang sedang memburu
gelar juara ataupun berjuang keluar dari zona degradasi sehingga klub-klub
tidak kehilangan pemain pilarnya yang membela timnas. Berkaca dari
negara-negara tetangga yang kompetisi regulernya sudah selesai jauh sebelum
Piala AFF berlangsung. Sekali lagi, inilah permasalahan utama di Indonesia yang
rasanya sudah mengakar rumput.
Permasalahan
ketiga adalah di internal PSSI. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama,
atau mungkin bagi Anda yang belum tahu bahwa ketua PSSI saat ini adalah Edy
Rahmayadi yang di satu sisi juga menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara.
Sejatinya seorang ketua federasi sepakbola tidak diperbolehkan memegang jabatan
politik karena ada pada statuta FIFA yang mana bisa berakibat sanksi FIFA oleh
tim nasional dari negara yang bersangkutan. Indonesia sudah pernah merasakan
sekali sanksi FIFA di medio 2015 hingga 2016, tentunya kita tahu apa dampaknya
bagi sepakbola nasional. Liga tidak dapat berjalan yang mengakibatkan para
pemain tidak dapat penghasilan untuk memcukupi kebutuhan keluarga hingga tidak
dapat berkompetisinya timnas di ajang internasional. Tentu kita semua berharap hal
ini tidak terjadi lagi pada Indonesia. Oleh karena itu, sebelum terlambat
alangkah bijaknya pak Edy untuk mengundurkan diri sebagai ketua PSSI. Kami tahu
untuk mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin satu organisasi saja merupakan
hal yang berat, apalagi dua. Pak Edy hanyalah seorang manusia biasa, bukan
anggota Avengers. Kami butuh sosok pemimpin yang benar-benar fokus dan
totalitas dalam mengemban tanggung jawab di PSSI, bukan hanya sebagai kerjaan
sampingan. Kami tahu, pak Edy masih sangat ingin melaksanakan tugas hingga selesai
tapi bukan itu yang kami inginkan. Konflik kepentingan di internal PSSI harus
dibenahi, permasalahan timnas, liga, wasit, dan suporter pun begitu. Kami
membutuhkan orang yang siap untuk mengabdikan dirinya secara penuh untuk PSSI.
Kalau pak Edy terus mementingkan ego dibandingkan hati nurani, sampai kapan
sepakbola Indonesia akan berbenah? Apakah mau PSSI kembali beristirahat seperti
2015 lalu? Atau memang itu yang sekarang diperlukan PSSI? Beristirahat kembali
agar benar-benar berbenah dan berevolusi menjadi federasi sepakbola yang
melaksanakan fungsinya dengan maksimal, profesional, dan bermartabat seperti
mottonya. Apakah diperlukan kembali sanksi FIFA agar PSSI melakukan revolusi? Bagus
kalau terjadi revolusi, kalau tidak bagaimana? Hanya kerugian yang didapat dari
sanksi FIFA jika tidak adanay revolusi yang dilakukan oleh PSSI.
Jadi
bagaimana PSSI, perlu beristirahat kembali kah?
0 komentar:
Posting Komentar