Kamis, 13 Agustus 2020

Sebuah Pesan

Assalamualaikum wr.wb. Bagaimana kabar kalian? Semoga ketika kalian membaca ini dalam keadaan sehat ya dan ingat #dirumahaja.

Hari ini masih tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pandemi sudah berlangsung hampir lima bulan dan sebagian besar aktivitas dilakukan di rumah. Namun hari ini terasa lain. Hujan menyapa di siang ini yang sebelumnya sudah didahului oleh rentetan mendung di langit. Rasanya waktu seakan melambat, deru air yang mulai melebat menggugah hati untuk kembali menulis. Ditemani dengan secangkir kopi, berharap bisa mencurahkan isi hati.

Rintik air terdengar sangat riuh dari luar jendela yang terbuka. Secara disengaja tentunya. Bukan untuk merasakan hawa hujan yang spesial, melainkan berharap pesan datang yang entah akan sampai kapan dinantikan. Bukan pesan melalui surat yang dibawa oleh pak pos dengan motor berwarna oranyenya, bukan juga melalui pesan singkat di aplikasi telepon pintar. Ini jauh lebih dari itu. Pesan rindu.

Seorang karakter dari sebuah novel ternama pernah berujar jangan rindu karena itu berat.

Persetan kubilang.

Berat dia bilang katanya. Nyatanya tak seperti itu kawan. Titik ternadir rindu jauh lebih dari itu. Kuberitahu padamu;

Rindu tak berbalas.

Rindu hadir tepat setelah kau mengucap salam perpisahan dengan waktu yang entah kapan lagi bisa dipertemukan. Sebentar, rasanya salam perpisahan pun bahkan tak pernah kau ucapkan. Membuatku bertanya mengapa, sampai saat ini nyatanya.

           Setiap petang menjelang langit mulai meredup, dari sekian banyak hal yang bisa dilakukan namun aku hanya mencoba melihat melalui celah kecil di jendela. Mencoba mengintip dan berharap dengan harapan yang sama yang tentunya tak pernah usang. Barangkali pesan itu datang. Nyatanya hanya kurir ekspedisi. Bukan itu yang sebenarnya kunanti.

Mungkin akan lain cerita jika kau mengatakan sesuatu, setidaknya. Tidak akan ku menunggu pesan itu di tiap harinya dengan harapan bahwa suatu saat itu akan datang. Tidak. Lama. Sudah cukup lama. Bahkan akupun tak tau sudah berapa detik yang kusempatkan. Aku tak menghitung, lebih tepatnya tidak peduli. Karena aku yakin pesan itu akan mengampiri.

            Tahun berlalu, waktu membeku. Jarak memisah, hati tak berubah. Aku mencoba lupa, dan mengubur cerita. Percuma saja, rasa ini tak mengenal ajal.

            Di kejauhan, doaku menepi di sebelahmu, menantimu terjaga. Berharap, masih ada wajahku dalam mimpimu yang tersisa.

            Ada rindu dalam diam. 

0 komentar:

Posting Komentar