Kamis, 22 Juni 2017

Anak Muda dan Jakarta

Assalamualaikum wr.wb, tulisan ini gue buat untuk memperingati hari ulang tahun kota Jakarta yang ke – 490. Yuk baca dibawah ini!

Jakarta, kota metropolitan begitu orang mengatakan.
Sebuah kota dengan sejarah panjang dan segala problematika didalamnya.
Banyak orang berpendapat bahwa inilah kota idaman.
Entah penduduk asli maupun pendatang.
Saling sikut untuk meraup rupiah demi rupiah.

Gue dilahirkan di Jakarta, meskipun begitu gue sebenarnya bukanlah orang Jakarta asli. Bokap gue dari Sleman, dan nyokap gue dari Tasikmalaya. Iya, mereka berdua merupakan perantau pada masa itu. Mereka mencoba peruntungan di kota yang disebut mewah ini.

Meski bukan penduduk Jakarta asli, selama lebih dari 15 tahun mendiami kota Jakarta. Kota ini sudah gue anggap sebagai ‘rumah sendiri’. Selama 15 tahun gue dan kota ini tumbuh. Tumbuh bersama. Saat gue masih sebagai bocah ingusan, mungkin belum banyak yang gue ketahui mengenai kota ini. Hanya sebatas gue tinggal dan bersekolah di kota ini. Namun seiring berjalannya waktu gue mulai paham dan mengerti banyak hal mengenai kota ini.

Sampai gue tamat sekolah dasar, gue masih berpikir permasalahan di kota ini bukanlah hal yang harus gue pusingkan. Toh, orang – orang dipemerintahan sana sudah mempunyai tugas tersebut. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, gue mulai membuka diri mengenai permasalahan kota ini yang sebelumnya gue bersikap apatis. Gue melihat dan memiliki kegelisahan kenapa ini dan itu bisa terjadi, kenapa masalah ini engga selesai, apa pejabat pemerintahan sudah melakukan tugasnya dengan baik. Pertanyaan – pertanyaan macam itu yang mulai merasuki pemikiran gue. Namun, ada sisi lain di ambang pemikiran gue mencuat: Kota ini terlalu besar, untuk gue yang pemikirannya masih terbatas untuk mengkritisi ini.

Beranjak ke sekolah menengah atas. Seiring semakin meningkatnya intensitas kepedulian gue terhadap masalah – masalah di kota ini, gue pun terus mencari dan menelaah informasi yang gue butuhkan untuk memenuhi kepuasan akan solusi dari permasalahan. Sangat terasa. Ketika SMP, gue jarang bahkan engga terlalu suka menonton ataupun membaca berita di media, sekarang malah sering mencari informasi mengenai hal tersebut.

Berbagai permasalah di kota ini kita sudah tahu. Bahkan anak usia SD pun sudah bisa menyebutkan salah satu problematika di kota ini. Macet? Banjir? Kriminalitas? Apatisme? . Mereka bisa menyebutkan.

Yang gue bingungkan adalah para remaja yang mulai tumbuh di era milenium seperti halnya gue. Gue akui gue salah satu generasi milenial. Dengan berkembangnya teknologi, kemudahan untuk mengakses informasi, menyampaikan pemikiran, dan mengekpersikan sesuatu menjadi hal yang lumrah. Media sosial menjadi hal vital. Mungkin bukan hanya di Jakarta, seluruh Indonesia.

Gue melihat dan merasakan hal yang berkembang di sekitar gue. Banyak sekali remaja – remaja yang menyampaikan pendapatnya mengenai suatu hal di media sosial. Toh ini dilindungi undang – undang dasar, pikir mereka. Mengomentari hal – hal yang dianggap perlu mengenai suatu hal.

Gue mengamati. Mengamati bagaimana fenomena tersebut terjadi dan marak di media sosial. Ketika ada seseorang menyampaikan pemikirannya di media sosial dan bertentangan dengan kebanyakan orang itu akan jadi viral. Kolom komentar dipenuhi dengan netizen atau kata yang lebih tepat adalah komentator. Yang membuat gue bingung, kolom komentar umumnya dipenuhi dengan kata – kata yang mengandung unsur kekerasan, permusuhan, dan kebencian. Mereka yang tidak menerima pemikiran orang yang memiliki paham berseberangan dengannya akan dihujat, dicaci, dan dibenci. Kemudian, mereka akan mengomentari bahwa hal tersebut salah, aneh, nyeleneh. Mereka akan berkomentar dengan menuliskan apa yang menurut mereka benar dan yang satu suara denganya dibela mati – matian. Apa mereka salah? Belum tentu. Apa yang membuat tulisan yang menjadi viral itu salah? Tidak juga.

Lantas kenapa itu terjadi. Seperti yang udah gue sebutkan diatas, generasi milenial tumbuh di era digital yang dipenuhi dengan konten – konten yang beragam. Butuh usaha lebih untuk menyaring informasi dan budaya yang positif ketimbang negatif. Mereka yang suka berkomentar dengan hujatan dan makian bisa saja terpengaruh dari konten yang ada di internet. Bukan hal yang aneh jika itu terjadi. Banyak contoh disekitar kita seperti itu.

Disisi lain, kemajuan teknologi juga menjadi faktor. Remaja, bahkan umumnya setiap orang saat ini jarang sekali membaca, bahkan cenderung tidak. Padahal, untuk mengkritisi atau mengomentari suatu hal tentu dibutuhkan informasi yang akurat dan relevan sebagai bahan untuk menyelesaikan permasalah tersebut. Bukan hanya berkomentar dengan hujatan dan makian tapi tidak memberikan solusi. Salah satu penulis yang gue kagumi, Zen R.S pernah berujar:

‘Bahaya menurunnya minat membaca adalah meningkatnya minat berkomentar’

Cukup tepat menggambarkan situasi sekarang ini.

Berkomentar boleh memang, namun idealnya kita mengetahui terlebih dahulu permasalahan tersebut bukan 
hanya asal berkomentar yang mengandung unsur kebencian. Pandji Paragiwaksono mengatakan:

‘Memahami sebelum membenci’

Kalau ada pemikiran yang bersebrangan dengan kita, apakah kita harus langsung menghujat dan memakinya?

Kalau ada orang yang berbeda sukunya dengan kita, apakah kita harus langsung menghujat dan memakinya?

Kalau ada orang yang berbeda warna kulitnya dengan kita, apakah kita harus langsung menghujat dan memakinya?

Kalau ada orang yang berbeda agama dengan kita, apakah kita harus langsung menghujat dan memakinya?

Tidak.

Kita sudah seyogyanya menghormati itu.

Apakah tidak bisa berkomentar dengan sopan santun sesuai dengan budaya kita?

Apakah tidak bisa berkomentar dan juga memberikan solusi?

Apakah tidak bisa lebih dewasa dalam mengomentari sesuatu?

Bisa.

Beberapa waktu lalu ada pemilihan kepala daerah Jakarta. Penduduk Jakarta seolah terbagi. Begitu juga dengan anak mudanya. Di media sosial banyak sekali hujat – menghujat, maki – memaki yang umumnya dilakukan oleh anak muda. Apa layak generasi penerus bangsa bertindak seperti itu? Gue yakin tidak semua generasi penerus bangsa seperti itu. Yakin. Cuma yang ada di sekitar kita memang seperti itu.

Yang ingin gue sampaikan pada tulisan ini, yuk kita sebagai anak muda generasi penerus bangsa kita mengkritisi atau berkomenter mengenai suatu hal dengan lebih bijak dan dewasa serta disampaikan dengan sopan sesuai dengan budaya kita. Tentunya disertai dengan solusi yang membangun demi kebaikan kita bersama. Juga kita harus memahami dan menghargai perbedaan pemikiran, karena yang membuat Indonesia indah yaitu keberagamannya.

Sekarang pilkada sudah berlalu, sudah saatnya kita penduduk Jakarta kembali bersatu demi mewujudukan impian, tujuan, dan cita – cita kita bersama. Momen hari ulang tahun Jakarta yang ke – 490 ini berdekatan dengan hari raya Idul Fitri, momentum yang tepat untuk kembali mempersatukan kita semua dalam balutan kekeluargaan.

Selamat hari jadi kota Jakarta.

Jakarta yang indah karena keberagamannya.

Jakarta yang unik karena permasalahannya.


Jakarta yang satu untuk kebahagiaan penduduknya.

0 komentar:

Posting Komentar