Sabtu, 06 Mei 2017

Apatis

Assalamualaikum wr.wb. Pada postingan kali ini gue akan membahas mengenai apa yang ada di benak gue. Bukan, bukan tentang peliharaan gue. Lagian gue juga engga punya hewan peliharaan. Yuk disimak!

Beberapa waktu lalu ketika pelajaran bahasa Indonesia, guru gue yang bernama Pak Achmad memberikan tugas untuk memproduksi film pendek. Memang akan ada bab yang membahas mengenai drama, jadi dia ngasih tugas seperti itu. Gue yang notabenya ikut eskul sinematografi di sekolah tentu cukup senang dengan adanya tugas ini, karena gue dan teman – teman yang lain mungkin ingin mengekspresikan sesuatu melalui medium film pendek. Ini adalah tugas kelompok yang berisi 6 orang. Kelompok gue berisikan Opang, Shabrina, Aca, Alfi, dan Dina. Meski gue beberapa kali buat film pendek namun dengan tim yang baru sama sekali melakukan produksi film pendek memang dibilang cukup sulit. Bahkan, gue dan teman – teman mencari ide cerita hampir sebulan sebelum akhirnya gue menemukan ide yang berdasarkan pengamatan gue di lingkungan Jakarta, Apatis.

Itu adalah judul film yang udah selesai kita kerjakan. Mungkin bagi sebagian orang tidak pernah mendengar kata tersebut atau sudah pernah mendengar saja tapi tidak tau maknanya. Pada postingan ini gue ingin membahas mengapa gue membuat film pendek mengenai Apatis. Oke pertama mari kita kulik terlebih dahulu apa itu kata Apatis. Menurut KBBI, Apatis bermakna acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Dari situ, dapat kita simpulkan bahwa apatis merupakan salah satu sifat atau sikap yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesuatu.

Gue lahir dan dibesarkan di Jakarta. Kota idaman, banyak yang bilang kaya gitu. Apa iya? Selama kurang lebih 7 tahun gue melihat dan mengamati bagaimana interaksi sosial warga Jakarta. Hasilnya, gue merasakan bahwa sikap apatis warga Jakarta tiap tahun semakin meninggi. Mungkin ada beberapa alasan.

Pertama, masyarakat Jakarta itu pluralisme sehingga penuh dengan keberagaman yang menjadikan interaksi sosial tiap warganya mungkin berbeda – beda. Contoh, di Jakarta banyak sekali warga pendatang yang ingin mencari pekerjaan. Dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan. Tentu interaksi orang Jawa dengan orang Batak berbeda.

Kedua, kondisi di Jakarta yang membuat itu bisa terjadi. Banyak yang tidak memedulikan hal lain seperti lingkungan, orang lain, dan sebagainya untuk kepentingan individu mereka sendiri. Contoh, ketika di commuterline atau TransJakarta. Ketika gue naik kedua transportasi tersebut, gue selalu melihat sikap apatis warga Jakarta. Yaitu, ada laki – laki yang usianya berkisar antara 20 – 30 tahun yang duduk, kemudian ada perempuan yang baru naik tapi laki – laki itu diem aja, engga berbuat apa – apa. Gesturnya menunjukkan bahwa dia ingin bilang ‘Suka – suka gue lah, gue yang dapet tempat duduk duluan. Emang dia siapa’  bahkan gue sering ngeliat ada orang yang pura – pura tidur. Iya, pura – pura tidur. Gue rasa kalau aktingnya dia ditekunin dia bisa dapet OSCAR. Oke, ini agak lebay. Gue tau dia capek atau gimana abis pulang kerja, tapi ya kan laki – laki yang secara fisik lebih kuat. Masa iya, tega ngebiarin perempuan yang juga capek pulang kerja berdiri? Buat kalian para laki – laki yang pernah dan sering melakukan hal seperti itu dan sekarang sedang membaca ini, tolong sadar dan peduli terhadap orang lain. Jujur, setiap gue naik commuterline atau TransJakarta gue hampir selalu berdiri, karena gue sadar apa yang harus gue lakukan.

Ketiga, kurang tegasnya pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam menegakkan peraturan yang berlaku. Contoh, trotoar. Kalian semua tau kan apa itu trotoar. Trotoar merupakan sarana bagi para pejalan kaki. Hak pejalan kaki. Namun liat sekarang kondisi trotoar di Jakarta. Berantakan. Kalau engga ada pohon di tengah trotoar, ada tiang listrik atau pedagang. Boro – boro untuk penyandang disabilitas, wong untuk orang biasa aja sulit jalan di trotoar. Apalagi kalau macet, trotoar ini sering dilalui pengendara motor. Gila. Gini, coba kalian bayangin jadi penyandang disabilitas dan jalan di trotoar. Pasti pandangan kalian akan berubah 180 derajat. Dan ini dibiarin aja sama pemerintah. Meski kadang ada razia, tetap aja balik lagi pedagangnya. Trotoar juga engga semua diperbaiki.

Keempat, gadget yang semakin menjamur dan kebiasaan masyarakat Jakarta menggunakan sosial media. Semakin majunya teknologi yang memudahkan orang berinteraksi dengan orang lain di dunia maya seolah menjadi pertanda bahwa berselancar di dunia lebih mengasyikkan. Sekarang harga hp android aja udah sekitar 500 ribuan. Itu udah bisa buka facebook, instagram, twitter, brazzers, macem – macem lah pokoknya. Kalau bisa mengatur bermain sosial media dengan baik, kita bisa memanfaatkan dan tidak terkena dampak buruknya. Dampak buruknya yaitu menjadikan terobesi dengan media sosial, sehingga kepekaan dengan lingkungan sosial yang sebenarnya semakin berkurang. Contoh, ketika orang tua atau orang lain minta tolong tapi mereka lebih milih main socmed dan sambil bilang ‘Ah apaansi nanti aja’

Kelima, kultur dan stigma sosial yang ada di masyarakat. Iya, stigma. Stigma masyarakat Jakarta memang seperti itu. Masyarakat kelas atas masih banyak yang menganggap bahwa masyarakat dengan kelas bawah ataupun menengah tidak berarti banyak. Mereka dipandang sebelah mata, sehingga menyebabkan ke-ma-sa-bo-do-an menghinggapi. Toh, mereka tidak memberikan  sesuatu kembali untuk masyarakat kelas atas. Begitu pikir mereka. Contoh, banyak yang menanggap remeh orang yang jualan di pinggir jalan, pengamen, atau pkl. Mungkin mereka berpikir bahwa hal itu sebagai pengganggu.


Dibalik itu semua, tidak semua masyarakat Jakarta bersikap apatis. Masih banyak yang peduli. Begitu juga dengan kalian yang membaca tulisan ini, kenapa gue bilang begitu? Karena gue yakin kalian masih peduli dengan orang lain. Gue berharap masyarakat yang bersikap apatis dapat segera sadar dan mulai berbuat sesuatu hal yang berkenaan dengan masalah sosial, meskipun sederhana. Teruntuk generasi muda, yuk kita jaga nilai – nilai luhur budaya bangsa yang sesuai dengan pancasila. Dengan begitu kita dapat bermanfaat untuk banyak orang. Yuk, bergerak!

0 komentar:

Posting Komentar