Assalamualaikum wr.wb. Pada postingan kali ini gue akan
membahas mengenai apa yang ada di benak gue. Bukan, bukan tentang peliharaan
gue. Lagian gue juga engga punya hewan peliharaan. Yuk disimak!
Beberapa waktu lalu ketika pelajaran bahasa Indonesia, guru
gue yang bernama Pak Achmad memberikan tugas untuk memproduksi film pendek.
Memang akan ada bab yang membahas mengenai drama, jadi dia ngasih tugas seperti
itu. Gue yang notabenya ikut eskul sinematografi di sekolah tentu cukup senang
dengan adanya tugas ini, karena gue dan teman – teman yang lain mungkin ingin
mengekspresikan sesuatu melalui medium film pendek. Ini adalah tugas kelompok
yang berisi 6 orang. Kelompok gue berisikan Opang, Shabrina, Aca, Alfi, dan
Dina. Meski gue beberapa kali buat film pendek namun dengan tim yang baru sama
sekali melakukan produksi film pendek memang dibilang cukup sulit. Bahkan, gue
dan teman – teman mencari ide cerita hampir sebulan sebelum akhirnya gue
menemukan ide yang berdasarkan pengamatan gue di lingkungan Jakarta, Apatis.
Itu adalah judul film yang udah selesai kita kerjakan.
Mungkin bagi sebagian orang tidak pernah mendengar kata tersebut atau sudah
pernah mendengar saja tapi tidak tau maknanya. Pada postingan ini gue ingin
membahas mengapa gue membuat film pendek mengenai Apatis. Oke pertama mari kita
kulik terlebih dahulu apa itu kata Apatis. Menurut KBBI, Apatis bermakna acuh
tak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Dari situ, dapat kita simpulkan bahwa
apatis merupakan salah satu sifat atau sikap yang tidak memiliki kepedulian
terhadap sesuatu.
Gue lahir dan dibesarkan di Jakarta. Kota idaman, banyak yang
bilang kaya gitu. Apa iya? Selama kurang lebih 7 tahun gue melihat dan
mengamati bagaimana interaksi sosial warga Jakarta. Hasilnya, gue merasakan bahwa
sikap apatis warga Jakarta tiap tahun semakin meninggi. Mungkin ada beberapa
alasan.
Pertama, masyarakat Jakarta itu pluralisme sehingga penuh
dengan keberagaman yang menjadikan interaksi sosial tiap warganya mungkin
berbeda – beda. Contoh, di Jakarta banyak sekali warga pendatang yang ingin
mencari pekerjaan. Dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan. Tentu
interaksi orang Jawa dengan orang Batak berbeda.
Kedua, kondisi di Jakarta yang membuat itu bisa terjadi.
Banyak yang tidak memedulikan hal lain seperti lingkungan, orang lain, dan
sebagainya untuk kepentingan individu mereka sendiri. Contoh, ketika di
commuterline atau TransJakarta. Ketika gue naik kedua transportasi tersebut,
gue selalu melihat sikap apatis warga Jakarta. Yaitu, ada laki – laki yang
usianya berkisar antara 20 – 30 tahun yang duduk, kemudian ada perempuan yang
baru naik tapi laki – laki itu diem aja, engga berbuat apa – apa. Gesturnya
menunjukkan bahwa dia ingin bilang ‘Suka – suka gue lah, gue yang dapet tempat
duduk duluan. Emang dia siapa’ bahkan
gue sering ngeliat ada orang yang pura – pura tidur. Iya, pura – pura tidur.
Gue rasa kalau aktingnya dia ditekunin dia bisa dapet OSCAR. Oke, ini agak lebay.
Gue tau dia capek atau gimana abis pulang kerja, tapi ya kan laki – laki yang
secara fisik lebih kuat. Masa iya, tega ngebiarin perempuan yang juga capek
pulang kerja berdiri? Buat kalian para laki – laki yang pernah dan sering
melakukan hal seperti itu dan sekarang sedang membaca ini, tolong sadar dan
peduli terhadap orang lain. Jujur, setiap gue naik commuterline atau
TransJakarta gue hampir selalu berdiri, karena gue sadar apa yang harus gue
lakukan.
Ketiga, kurang tegasnya pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam
menegakkan peraturan yang berlaku. Contoh, trotoar. Kalian semua tau kan apa
itu trotoar. Trotoar merupakan sarana bagi para pejalan kaki. Hak pejalan kaki.
Namun liat sekarang kondisi trotoar di Jakarta. Berantakan. Kalau engga ada
pohon di tengah trotoar, ada tiang listrik atau pedagang. Boro – boro untuk
penyandang disabilitas, wong untuk orang biasa aja sulit jalan di trotoar.
Apalagi kalau macet, trotoar ini sering dilalui pengendara motor. Gila. Gini,
coba kalian bayangin jadi penyandang disabilitas dan jalan di trotoar. Pasti
pandangan kalian akan berubah 180 derajat. Dan ini dibiarin aja sama
pemerintah. Meski kadang ada razia, tetap aja balik lagi pedagangnya. Trotoar
juga engga semua diperbaiki.
Keempat, gadget yang semakin menjamur dan kebiasaan
masyarakat Jakarta menggunakan sosial media. Semakin majunya teknologi yang
memudahkan orang berinteraksi dengan orang lain di dunia maya seolah menjadi
pertanda bahwa berselancar di dunia lebih mengasyikkan. Sekarang harga hp
android aja udah sekitar 500 ribuan. Itu udah bisa buka facebook, instagram,
twitter, brazzers, macem – macem lah pokoknya. Kalau bisa mengatur bermain
sosial media dengan baik, kita bisa memanfaatkan dan tidak terkena dampak
buruknya. Dampak buruknya yaitu menjadikan terobesi dengan media sosial,
sehingga kepekaan dengan lingkungan sosial yang sebenarnya semakin berkurang.
Contoh, ketika orang tua atau orang lain minta tolong tapi mereka lebih milih
main socmed dan sambil bilang ‘Ah apaansi nanti aja’
Kelima, kultur dan stigma sosial yang ada di masyarakat. Iya,
stigma. Stigma masyarakat Jakarta memang seperti itu. Masyarakat kelas atas
masih banyak yang menganggap bahwa masyarakat dengan kelas bawah ataupun
menengah tidak berarti banyak. Mereka dipandang sebelah mata, sehingga
menyebabkan ke-ma-sa-bo-do-an menghinggapi. Toh, mereka tidak memberikan sesuatu kembali untuk masyarakat kelas atas.
Begitu pikir mereka. Contoh, banyak yang menanggap remeh orang yang jualan di
pinggir jalan, pengamen, atau pkl. Mungkin mereka berpikir bahwa hal itu
sebagai pengganggu.
Dibalik itu semua, tidak semua masyarakat Jakarta bersikap
apatis. Masih banyak yang peduli. Begitu juga dengan kalian yang membaca
tulisan ini, kenapa gue bilang begitu? Karena gue yakin kalian masih peduli
dengan orang lain. Gue berharap masyarakat yang bersikap apatis dapat segera
sadar dan mulai berbuat sesuatu hal yang berkenaan dengan masalah sosial,
meskipun sederhana. Teruntuk generasi muda, yuk kita jaga nilai – nilai luhur
budaya bangsa yang sesuai dengan pancasila. Dengan begitu kita dapat bermanfaat
untuk banyak orang. Yuk, bergerak!
0 komentar:
Posting Komentar