Senin, 01 Desember 2014

Saya Adalah Generasi Yang Gagal



 “Pada dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan mereka adalah cara berpikir, bersikap, bertindak serta bereaksi setiap individu terhadap segala permasalahan yang menghampiri mereka."


30 Nopember 2014
Malam sudah cukup larut, waktu menunjukkan pukul 23:35 malam. Dari jendela tampak di luar tengah turun hujan. Hanya gerimis memang, tapi cukup untuk membuat udara malam ini menjadi semakin dingin. Sebuah sosok berperawakan sedang, tengah duduk terpaku di pojok sebuah ruangan. Dalam suasana remang-remang di sebuah kamar tidur.

Tatapan matanya kosong, raut wajahnya tampak beku, pikirannya jauh melambung membelah dingin dan basahnya langit malam ini. Dengan rambut acak-acakan serta kumis dan yang tampak mulai memanjang tak beraturan, membuat wajah orang ini tampak lusuh dan sedikit lebih tua dari umurnya.

Lelaki tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Chandra Dwi Anggoro, iya lelaki itu adalah saya sendiri. Sudah lama saya membuat keputusan ini, dan sudah lama pula sebenarnya saya ingin menulis artikel ini. Akan tetapi entah mengapa, hati saya masih merasa begitu berat untuk sekedar menyampaikannya kepada khalayak ramai.

Saya mulai bermain basket hanya dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu agar tubuh saya tetap prima. Namun entah kenapa, saya mulai dan bahkan sangat menggilai olahraga ini. Saya menjadi semangat dan bergejolak agar basket SMPN 98 Jakarta dapat berprestasi yang setinggi-tingginya.



Sekarang adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada masyarakat, mengenai masa depan saya. Awalnya saya pikir semuanya akan berjalan dengan mudah. Tinggal merangkai kata, upload ke blog pribadi dan kemudian di menyebarluaskan melalui akun twitter saya. Selesai perkara. Tetapi pada kenyataannya tidak semudah yang terpikir di benak saya. Butuh waktu lama untuk pada akhirnya saya berani untuk menulisnya. Padahal keputusan ini sudah saya ambil sejak dua bulan yang lalu. Iya, sejak dua bulan yang lalu.

Sebelumnya, saya berkata kepada salah satu sahabat saya. Keputusan saya untuk bergabung dengan tim ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan. Karena saya tidak akan pernah bisa memaafkan diri saya jika saya tidak melakukannya. Dan setelah itu saya akan berhenti.

Sahabat saya saat itu melarang saya untuk menyampaikan keputusan ini. Ia berujar, akan ada saatnya saya akan menyampaikan hal ini. Tapi entah berapa lama lagi itu. Setelah saya berpikir ulang akhirnya saya menunda memberitahukan hal ini.

Berani mengambil sikap dengan apapun hasil dari pilihan yang kita ambil, adalah dua hal yang berbeda. Mengambil sebuah keputusan murni berada di tangan setiap individu. Sedang hasil dari keputusan yang kita ambil acap kali tergantung dari banyak hal, termasuk kehendak dari sang Maha Pencipta.

Mereka berpikir saya telah merusak kredibilitas dan reputasi dengan menumpahkan tinta hitam di atasnya. Tetapi, tidak demikian bagi saya pribadi. Saya merasa telah mengakhiri perjalanan bersama tim ini, dengan sebuah kebanggaan dan kehormatan, setidaknya sebagai sebuah pribadi yang merdeka.

Rasa terima kasih dan hormat saya yang setinggi-tingginya, saya ucapkan kepada seluruh komponen tim, terutama pelatih. Dengan apa pun hasilnya, menjadi sebuah kebanggaan besar bagi saya mengakhiri karier di SMP ini bersama rekan-rekan semua. Berjuang sampai titik darah penghabisan atas nama sekolah, dengan segala kendala dan risiko yang harus dihadapi, membuat saya merasa telah mati dengan cara yang sangat terhormat.

Sekitar enam pelatih sudah mendidik, membina, dan mengajarkan saya hal yang sangat beharga selama di SMP ini. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Tak terkecuali seluruh rekan maupun mantan rekan setim yang sudah mendukung dan menyokong saya.

Terima kasih yang tidak terhingga untuk seluruh pendukung Tim Basket 98. Mereka yang dengan fanatisme luar biasa dan tak kenal lelah, selalu berdiri di belakang panji-panji Tim Basket 98. Tidak lupa permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya, karena selama karier saya bersama Tim Basket 98, tidak sekalipun saya mampu memberikan kebahagiaan untuk kalian semua.

Selamat berjuang untuk talenta-talenta terbaik basket SMPN 98 Jakarta. Kibarkanlah panji-panji kebesaran basket kita setinggi-tingginya. Bermainlah untuk dirimu, orang-orang yang kamu cintai (keluarga), dan lambang di dadamu (rakyat sekolah).

Keputusan ini mungkin mengingkari janji saya sendiri dua tahun lalu, janji setia saya kepada Tim Basket 98. Akan tetapi dengan segala dinamika dan pergolakan yang terjadi dalam kehidupan saya. Membuat saya merasa yakin, jika sekarang adalah saat yang tepat bagi saya untuk melakukannya. Lagi pula dengan nama-nama mumpuni di Tim Basket 98 saat ini, rasanya tenaga saya sudah tidak lagi terlalu dibutuhkan.

Saya mengawali dua karier saya bersama Tim Basket 98 dengan sebuah harapan besar, dan mengakhirinya dengan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemenangan dari segala bentuk pemaksaan kehendak terhadap diri saya. Kemenangan diri saya atas nama sebuah kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, menentukan sikap, serta bertindak atas nama sebuah hal yang saya yakini akan kebenarannya.

Boleh saja orang menilai saya sebagai seorang penghianat dari kelompok saya, tetapi satu hal yang pasti, bahwa saya tidak pernah mengkhianati hati dan profesi saya. Sebuah profesi yang sangat saya cintai dan banggakan, sebagai pemain basket.

Pada akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak ada satu gelar bergengsi yang mampu saya berikan untuk SMPN 98 Jakarta. Dan oleh karena itu seperti yang pernah saya janjikan, maka di akhir artikel ini saya akan berteriak dengan lantang, jika “Saya Adalah Generasi Yang Gagal.”

Melalui tulisan ini, maka secara resmi saya menyatakan mundur dari Tim Basket 98.

Saya akan melanjutkan karir basket saya ketika SMA nanti, kalau anda bertanya kenapa saya berhenti, anda bisa membaca alasannya di artikel saya sebelumnya pada paragraph kedua. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada rekan seangkatan dan tentunya rekan seperjuangan saya. Terima kasih untuk dua tahun yang menyenangkan!

“Cepat atau lambat, jersey itu akan tanggal dari badanku. Tetapi satu hal yang pasti, lambang 98 itu akan tetap melekat di dadaku, tinggal di sana sampai akhir hayatku.”

98 di Dadaku, 98 Kebanggaanku”

0 komentar:

Posting Komentar