“Pada
dasarnya setiap manusia itu sama, yang membedakan mereka adalah cara berpikir,
bersikap, bertindak serta bereaksi setiap individu terhadap segala permasalahan
yang menghampiri mereka."
30 Nopember 2014
Malam sudah cukup larut, waktu
menunjukkan pukul 23:35 malam. Dari jendela tampak di luar tengah turun hujan.
Hanya gerimis memang, tapi cukup untuk membuat udara malam ini menjadi semakin
dingin. Sebuah sosok berperawakan sedang, tengah duduk terpaku di pojok sebuah
ruangan. Dalam suasana remang-remang di sebuah kamar tidur.
Tatapan matanya kosong, raut wajahnya tampak beku, pikirannya jauh
melambung membelah dingin dan basahnya langit malam ini. Dengan rambut acak-acakan
serta kumis dan yang tampak mulai memanjang tak beraturan, membuat wajah orang
ini tampak lusuh dan sedikit lebih tua dari umurnya.
Lelaki tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Chandra Dwi Anggoro, iya lelaki itu adalah saya sendiri. Sudah lama saya membuat keputusan ini, dan sudah lama pula sebenarnya saya ingin menulis artikel ini. Akan tetapi entah mengapa, hati saya masih merasa begitu berat untuk sekedar menyampaikannya kepada khalayak ramai.
Saya mulai bermain basket hanya dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu
agar tubuh saya tetap prima. Namun entah kenapa, saya mulai dan bahkan sangat
menggilai olahraga ini. Saya menjadi semangat dan bergejolak agar basket SMPN
98 Jakarta dapat berprestasi yang setinggi-tingginya.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kepada masyarakat,
mengenai masa depan saya. Awalnya saya pikir semuanya akan berjalan dengan mudah. Tinggal merangkai
kata, upload ke blog pribadi dan kemudian di menyebarluaskan melalui akun
twitter saya. Selesai perkara. Tetapi pada kenyataannya tidak semudah yang
terpikir di benak saya. Butuh waktu lama untuk pada akhirnya saya berani untuk
menulisnya. Padahal keputusan ini sudah saya ambil sejak dua bulan yang
lalu. Iya, sejak dua bulan yang lalu.
Sebelumnya, saya berkata kepada salah satu sahabat saya.
Keputusan saya untuk bergabung dengan tim ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi
sebuah keharusan. Karena saya tidak akan pernah bisa memaafkan diri saya jika
saya tidak melakukannya. Dan setelah itu saya akan berhenti.
Sahabat saya saat itu melarang saya untuk menyampaikan keputusan ini. Ia berujar, akan ada saatnya saya akan menyampaikan hal ini. Tapi entah berapa lama lagi itu. Setelah saya berpikir ulang akhirnya saya menunda memberitahukan hal ini.
Berani mengambil sikap dengan apapun hasil dari pilihan yang kita ambil,
adalah dua hal yang berbeda. Mengambil sebuah keputusan murni berada di tangan
setiap individu. Sedang hasil dari keputusan yang kita ambil acap kali
tergantung dari banyak hal, termasuk kehendak dari sang Maha Pencipta.
Mereka berpikir saya telah merusak kredibilitas dan reputasi dengan
menumpahkan tinta hitam di atasnya. Tetapi, tidak demikian bagi saya pribadi.
Saya merasa telah mengakhiri perjalanan bersama tim ini, dengan sebuah
kebanggaan dan kehormatan, setidaknya sebagai sebuah pribadi yang merdeka.
Rasa terima kasih dan hormat saya yang setinggi-tingginya, saya ucapkan
kepada seluruh komponen tim, terutama pelatih. Dengan apa
pun hasilnya, menjadi sebuah kebanggaan besar bagi saya mengakhiri karier di SMP ini bersama rekan-rekan
semua. Berjuang sampai titik darah penghabisan atas nama sekolah, dengan segala
kendala dan risiko yang harus dihadapi, membuat saya merasa telah mati dengan
cara yang sangat terhormat.
Sekitar enam pelatih sudah mendidik, membina, dan mengajarkan saya hal yang
sangat beharga selama di SMP ini. Saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada mereka yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Tak
terkecuali seluruh rekan maupun mantan rekan setim yang sudah mendukung dan
menyokong saya.
Terima kasih yang tidak terhingga untuk seluruh pendukung Tim Basket 98. Mereka yang
dengan fanatisme luar biasa dan tak kenal lelah, selalu berdiri di belakang
panji-panji Tim Basket 98. Tidak lupa permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya, karena selama karier
saya bersama Tim Basket 98, tidak sekalipun saya mampu memberikan kebahagiaan
untuk kalian semua.
Selamat berjuang untuk talenta-talenta terbaik basket SMPN 98 Jakarta. Kibarkanlah
panji-panji kebesaran basket kita setinggi-tingginya. Bermainlah untuk
dirimu, orang-orang yang kamu cintai (keluarga), dan lambang di dadamu (rakyat sekolah).
Keputusan ini mungkin mengingkari janji saya sendiri dua tahun lalu,
janji setia saya kepada Tim Basket 98. Akan tetapi dengan segala
dinamika dan pergolakan yang terjadi dalam kehidupan saya. Membuat saya
merasa yakin, jika sekarang adalah saat yang tepat bagi saya untuk
melakukannya. Lagi pula dengan nama-nama mumpuni di Tim Basket 98 saat ini,
rasanya tenaga saya sudah tidak lagi terlalu dibutuhkan.
Saya mengawali dua karier saya bersama Tim Basket 98 dengan sebuah harapan besar, dan
mengakhirinya dengan sebuah kemenangan besar. Sebuah kemenangan dari segala
bentuk pemaksaan kehendak terhadap diri saya. Kemenangan diri saya atas nama
sebuah kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, menentukan sikap, serta
bertindak atas nama sebuah hal yang saya yakini akan kebenarannya.
Boleh saja orang menilai saya sebagai seorang penghianat dari kelompok
saya, tetapi satu hal yang pasti, bahwa saya tidak pernah mengkhianati hati dan
profesi saya. Sebuah profesi yang sangat saya cintai dan banggakan, sebagai
pemain basket.
Pada akhirnya saya memang harus menerima kenyataan, bahwa tidak ada satu
gelar bergengsi yang mampu saya berikan untuk SMPN 98 Jakarta. Dan oleh
karena itu seperti yang pernah saya janjikan, maka di akhir artikel ini saya
akan berteriak dengan lantang, jika “Saya Adalah Generasi Yang Gagal.”
Melalui tulisan ini, maka secara resmi saya menyatakan mundur dari Tim Basket 98.
Saya akan melanjutkan karir basket saya ketika SMA nanti, kalau anda bertanya kenapa saya berhenti, anda bisa membaca alasannya di artikel saya sebelumnya pada paragraph kedua. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada rekan seangkatan dan tentunya rekan seperjuangan saya. Terima kasih untuk dua tahun yang menyenangkan!
“Cepat atau lambat, jersey itu akan tanggal dari
badanku. Tetapi satu hal yang pasti, lambang 98 itu akan tetap
melekat di dadaku, tinggal di sana sampai akhir
hayatku.”
“98 di Dadaku, 98 Kebanggaanku”
0 komentar:
Posting Komentar