Minggu, 12 April 2020

Perempuan Tanpa Nama

Banyak laki-laki dalam perjalanan hidupnya tidak sengaja bertemu dengan perempuan menarik tapi engga berani ngajak kenalan. Perempuan itu pun pergi berlalu, berujung dengan para laki-laki ini berandai: apa yang terjadi seandainya gue berani ngomong sama dia?

Sama seperti mereka, gue juga seperti itu. Gue sebut perempuan yang pergi berlalu tanpa sempet bertukar nama ini sebagai ‘Perempuan Tanpa Nama’ karena sampai sekarang gue engga tau nama mereka. Beberapa dari mereka sangat membekas di ingatan gue. Inilah dua orang di antaranya:

Satu
            Perempuan Tanpa Nama pertama gue temui ketika masih Sekolah Menengah Pertama. Ketika itu gue masih duduk di kelas 7. Saat masuk SMP, gue dari awal emang niat buat masuk eskul basket. Bukan karena gue ingin populer di sekolah sebagai abas sebutan untuk anak basket, namun gue terinspirasi dari komik yang gue baca waktu SD yaitu Slam Dunk. Berbekal dengan itu gue berniat untuk masuk eskul basket, syukur-syukur gue bisa kaya Rukawa. Buat yang belum pernah baca komik Slam Dunk, Rukawa ini adalah karakter yang kemampuan basketnya luar biasa meskipun masih anak baru dan di sisi lain dia emang cool penampilannya. Akhirnya, gue pun resmi menjadi anak basket di SMP.
            Gue menjalani latihan sangat rutin yaitu tiga minggu sekali dan seharinya memakan waktu dua jam. Gue belajar dasar-dasar bermain basket, mulai dari dribble, passing, rebound, shooting, dan lay up. Setelah latihan sekitar empat bulan, tim memutuskan untuk ikut serta dalam turnamen 41 Cup yang tentunya dihelat oleh SMPN 41 Jakarta. Hari pertandingan pun tiba. Gue dan beberapa temen gue saat itu berangkat dengan naik angkot yang mana semestinya kita mulai tanding jam dua tapi gue baru sampe jam dua lewat lima belas. Angkot sialan emang itu, jalannya lambat banget. Untungnya, pertandingan sebelumnya agak ngaret, jadi tim kita terselamatkan.
            Karena kita mulai tandingnya ngaret, kita jadi bisa nontonin pertandingan dulu yang baru mau mulai di lapangan. Saat itu pertandingannya adalah tim putri yaitu tim 41 B dan lawannya gue lupa dari mana. Kalau sekolah ngadain turnamen, biasanya emang mereka menurunkan dua tim. Tim A merupakan tim utamanya, sedangkan tim B merupakan tim yang notabenenya diisi oleh anak baru. Jadi tim putri 41 B ini bisa dikatakan semuanya adalah anak kelas 7.
            Gue dan temen-temen nontonin di lapangan. Saat itu memang kondisinya baru pemanasan. Gue ngeliat ke seluruh penjuru lapangan, namun tiba-tiba pandangan gue terhenti di tempat di mana tim 41 B ini lagi pemanasan lay up. Awalnya gue ngeliat sekilas ke seluruh tim, tapi lama-lama gue memberikan fokus lebih ke salah satu pemain. Masih teringat jelas di memori gue seperti apa penampilannya saat itu. Perempuan dengan postur yang agak tinggi, berkulit putih, rambut panjang yang dikuncir, serta sepatu Nike berwarna putih menemani balutan jersey warna merah dengan nomor empat puluh satu di punggungnya.
            Saat itu gue selalu ngeliat ke arah mana dia bergerak selagi dia pemanasan. Tak lama kemudian, pertandingan dimulai. Dia engga dimainin sejak awal. Gue saat itu mencoba untuk menonton jalannya pertandingan, namun entah mengapa rasanya mata ini hanya mau menuju satu titik di pinggir lapangan. Dia sedang memperhatikan bagaimana timnya bermain. Kuarter satu pun selesai, begitu juga dengan kuarter kedua. Dia belum juga main. Pada awal kuarter ketiga temen gue sempet nanya ke gue.
‘Woi’ ujar dia mengangetkan gue.
‘Kenapa?’ jawab gue.
‘Lu dari tadi gue perhatiin ngeliat ke situ terus dah’
‘Kan emang gue lagi nonton pertandingan’ gue ngeles.
‘Ye maksud gue bukan ke lapangan, tapi ke bangku pemain 41 B’ ucap dia.
‘Emang ada apaan sih?’ tambah dia.
‘Gaada apa-apan’
‘Halah jangan boong lu’
‘Ada itu sih’
‘Tuhkan ngaku juga lu. Yang mana?’ tanya dia seolah udah tau kalau gue emang lagi ngeliatin salah satu pemain dari 41 B.
‘Nomor 41’ jawab gue singkat.
’41?’ tanya dia seraya mencari perempuan itu.
‘Oh itu, lumayan juga sih. Terus?’
‘Terus apaan?’
‘Ya lu cuma mau ngeliatin dia dari jauh aja kaya gini?’
‘Gue gatau’ jawab gue.
‘Yaelah Chan. Coba aja lo ajak kenalan abis pertandingan ini’ saran dia.
‘Engga berani gue’ jawab gue culun.
‘Masa engga berani, gue temenin deh nanti. Santai aja’ ucap dia.
‘Liat nanti dah’
‘Eh dia mau masuk tuh’ ucap gue.
            Akhirnya perempuan ini dimainin juga sama pelatihnya di pertengahan kuarter ketiga. Untuk pertama kalinya di pertandingan ini, gue ngikutin jalannya pertandingan. Lebih tepatnya ngikutin ke mana perempuan ini bergerak di lapangan. Gue ngeliat bagaimana dia dribble, bagaimana dia passing maupun rebound. Kemampuannya engga buruk untuk seorang anak baru. Tak terasa kuarter ketiga pun selesai. Gue dan tim harus ganti jersey dan pemanasan karena setelah ini kita yang main. Setelah pemanasan singkat, gue kembali ke pinggir lapangan dengan waktu pertandingan menyisakan tinggal di bawah satu menit. Saat itu gue ngeliat dia kembali di bangku pemain. Akhirnya pertandingan pun selesai. Gue engga peduli dengan hasil pertandingan ini sebenernya, karena pikiran gue saat itu adalah gimana caranya tim gue bisa menang setelah ini. Ketika sudah selesai, temen gue yang tadi kembali nanya ke gue.
‘Jadi engga?’ tanya dia.
‘Jadi apa?’ gue tanya balik.
‘Itu kenalan sama nomor 41’
‘Kayanya abis pertandingan kita aja deh. Engga enak juga kan sama senior-senior, kita kan harus pemanasan lagi’ ujar gue.
‘Yaudah. Jangan nyesel lu ya’ kata dia seolah meyakinkan gue.
‘Iya’ tutup gue singkat.
            Gue mengiyakan tawaran temen gue tadi untuk kenalan dengan perempuan tersebut setelah pertandingan ini karena gue harap pada pertandingan ini gue bisa main bagus dan mungkin dia nonton pertandingan ini jadi ketika kenalan nanti dia mungkin udah sedikit notice gue pas pertandingan. Itulah rencana gue. Terlihat bagus bukan?
            Pertandingan pun dimulai, gue engga diturunin di awal. Semua yang main senior. Kuarter pertama berlalu, kedua berlalu, ketiga berlalu. Kita masih ketinggalan skor dan di sisi lain gue belum dimainin sama sekali di tiap kuarter. Kampret dalam hati gue. Bisa-bisa rencana gue gagal ini mah. Di saat itu, gue masih mencoba untuk berpikir positif, siapa tau gue dimainin di pertengahan kuarter empat. Namun nyatanya? Gue engga dimainin sama sekali. Sedih. Tim kita juga kalah. Meskipun begitu gue menghormati keputusan pelatih. Bagaimanapun juga dia yang paling paham soal ini. Mungkin juga dia mau memberikan kesempatan kepada pemain kelas 9 karena ini merupakan turnamen terakhir mereka di SMP.
            Setelah selesai pertandingan, gue ganti baju. Kemudian temen gue kembali menanyakan hal tadi.
‘Jadi engga?’ tanya dia.
‘Ayo. Bantu gue tapi ya’ ucap gue.
‘Santai’ kata dia.
Kita pun kembali ke pinggir lapangan untuk nyari  perempuan ini. Gue mengarahkan mata gue ke seluruh lapangan dan koridor gedung namun engga meihat sama sekali keberadaannya dia.
‘Lu ngeliat engga?’ tanya temen gue.
‘Engga nih. Lu?’ gue nanya balik.
‘Engga juga’
‘Terus gimana dong?’
‘Ya lu sih tadi engga mau. Sekarang orangnya udah gaada kan. Mau gimana lagi. Nyesel kan lu’ ucap dia.
‘Yaudah lah, mungkin gue bisa ketemu dia lagi nanti’
‘Yaudah kita cabut aja Chan’
‘Oke’
            Setelah itu kita pun memutuskan pulang, Pada akhirnya gue hanya terpaku selama perjalanan pulang di angkot. Gue menghela napas panjang, merenungkan yang terjadi hari ini. Tim gue kalah, dan gue engga sempet kenalan dengan perempuan itu.
            Selama hampir delapan tahun kemudian, wajah perempuan itu masih terbayang di kepala gue seperti baru terjadi kemarin sore. Kadang kalau gue lagi main basket, gue ngeliat ke pinggir lapangan, gue terbayang wajahnya. Kadang, gue berpikir kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi kalau aja waktu itu gue berani berkenalan, gue mungkin bisa pacaran sama dia, mungkin sampai sekarang. Atau mungkin kami putus, dan dia akan menjadi cerita dan pengalaman yang menarik di hidup gue.
            Tapi itu tidak terjadi karena sampai sekarang, perempuan tinggi berkulit putih dengan rambut dikuncir itu, tetap menjadi Perempuan Tanpa Nama.

Dua
            Perempuan Tanpa Nama berikutnya memiliki postur yang agak tinggi dengan rambut hitam yang di gerai dan mengenakan baju berwarna kuning tanpa lengan. Gue taksir usianya tidak beda jauh dengan gue, mungkin sekitar 15 tahun.
            Gue bertemu dia di XXI Pejatan Village pada akhir tahun 2014. Saat itu, gue ke Pejaten Village sendirian dengan niat untuk menonton film dan melihat beberapa buku di Gramedia. Sejujurnya gue lupa film apa yang gue tonton saat itu, namun cerita di baliknya masih gue inget sampai saat ini.
            Gue dateng ke Pejaten Village dan langsung naik ke lantai paling atas untuk menuju ke XXI. Gue selesai membeli tiket dan menunggu di depan ruang bisokop. Sekitar lima belas menit kemudian, gue pun memutuskan untuk menunggu di dalem. Gue duduk di bagian tengah mungkin sekitar baris E. Sebelum film di mulai, biasanya ditampilin trailer dari film lain atau iklan. Awalnya gue nunggu sambil twitteran. Kurang dari sepuluh menit film di mulai, gue yang lagi asyik twitteran langsung mengalihkan fokus gue. Gue yang selalu nunduk ketika sudah masuk bisokop, saat itu langsung memalingkan wajah menuju seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan ini masuk tidak sendirian, melainkan berdua bersama adik laki-lakinya.
            Dia pun sudah duduk di tempat duduknya. Hanya beda sekitar tiga baris di depan serong kanan dari tempat gue. Selama filmnya belum mulai, tadinya yang gue lakukan adalah twitteran jadi memperhatikan perempuan ini. Manis ya dia dalem kepala gue. Setelah gue perhatiin lagi, penampilannya mirip seperti artis Hanggini Purinda Retto. Tak lama berselang, film pun dimulai.
            Ketika filmnya main, fokus gue jadi sedikit terpecah. Gue tetep ngikutin jalan cerita filmnya sambil bertanya-tanya dalam hati. ‘Apa gue ajak kenalan dia ya?’
            Pertanyaan itu terus terngiang di benak gue selama film diputar. Pada penghujung film, akhirnya gue memutuskan untuk ngajak dia kenalan. Film pun selesai, gue ngeliat dia masih duduk saat credit title di awal naik, engga lama dia gandeng adiknya terus ke luar dari ruang tersebut, Panik tidak ingin kehilanga dia, gue menimbang-nimbang opsi yang gue punya sekarang berikut dengan keuntungan dan kelemahannya.
1.      Nyamperin dia minta kenalan. Keuntungan: gue bisa dapet namanya. Kelemahan: saking groginya, ada kemungkinan gue ngomongnya bakal ngaco dan gue engga bisa dapatkan dia selamanya.
2.      Nyamperin adiknya, basa-basi sama adiknya dulu, baru gue ngajak perempuan ini kenalan. Keuntungan: gue bisa dapet atensi adiknya dan siapa tau perempuan ini jadi suka. Kelemahan: ada kemungkinan gue basa-basi sama adiknya tapi adiknya malah mikir kalau gue orang yang mau nyulik dia.
Dia pun keluar dari bioskop, lalu gue ikutin sambil mandang dia dari jauh. Engga lama langkah dia terhenti di depan restoran Bakso Jawir. Gue pun coba mendekati dia. Kini jarak gue dengan dia kurang dari 10 langkah. Begitu dekat untuk merealisasikan niat gue. Ketika gue perhatiin dari jarak segitu, perempuan ini emang menawan. Asli.
Ketika sudah sedekat itu entah mengapa gue mulai goyah. Gue jadi takut, bingung, dan panik. Kaki gue terasa lebih berat untuk dilangkahkan. Jiwa-jiwa culun gue buat ngajak kenalan perempuan mulai muncul kembali. Ah, kenapa harus di saat sepert ini sih munculnya dalam kepala gue. Tidak sadar, perempuan ini pun sudah melangkah pergi dari Bakso Jawir meninggalkan gue yang masih saja diam terpaku. Dia pergi menjauh, untuk turun melalui eskalator. Itulah kali terakhir gue ngeliat dia. Awalnya gue masih mau ngejar dia buat ngajak kenalan. Di dalem kepala, sudah terbayang rencana seperti ini:
1.      Gue akan nyapa dia,
2.      Gue akan akan bilang kalau dia mirip dengan orang yang gue kenal (yang tentu saja bohong),
3.      Gue akan minta nomor handphonenya untuk nanti sok-sok mengirimkan foto orang yang gue kenal tersebut,
4.      Kami jadi sering ngobrol, lalu kami tunangan, menikah, dan punya anak. Oke, ini mengkhayalnya kejauhan.
Namun pada akhirnya gue hanya bisa terpaku. Gue biarkan dia pergi menjauh. Gue memperhatikan dia turun dari eskalator. Rambutnya yang tergerai bergerak pelan seperti ada angin yang meniupnya. Tangannya menggandeng adiknya turun. Gue menghela napas panjang.
Enam tahun berlalu sampai akhirnya gue menulis ini. Sampai sekarang setiap gue nonton di Pejaten Village gue masih berharap bisa kembali bertemu dengan dia. Namun, meskipun sampai sekarang gue masih sering nonton di Pejaten Village, gue engga pernah ketemu dia lagi. Gue hanya tau dia punya rambut hitam yang indah. Gue tidak tahu namanya siapa. Hingga bertahun-tahun ini, dia masih menjadi Perempuan Tanpa Nama.
Sebenernya di sela-sela hidup gue ada beberapa perempuan tanpa nama lainnya. Kadang pula perempuan tanpa nama ini datang pada waktu yang salah. Seperti saat gue ketemu perempuan dengan blues putih di salah satu mall. Saat itu gue lagi jalan dengan pacar gue dan tentu saja gue engga bisa kenalan sama perempuan tersebut. Engga etis banget gue masih punya pacar, terus tiba-tiba gue izin sama pacar bilang, ‘Sebentar ya sayang, aku mau kenalan sama cewek yang lebih cantik dari kamu itu’. Bisa-bisa mata gue dicolok pake pensil alis.
Kadang gue berpikir apakah perempuan-perempuan tanpa nama yang gue temui di dalam kehidupan gue ini bisa menjadi perempuan dengan nama yang mungkin bisa mengubah hidup gue, atau membuat gue lebih bahagia daripada sekarang.
Kadang, pada tengah malam, gue suka berpikir sebelum tidur. Apakah di antara perempuan-perempuan tak bernama ini ada yang seharusnya menjadi jodoh gue, menjadi salah satu perempuan yang membuat cerita-cerita bersama gue. Menjadi seseorang yang punya peranan lebih daripada sekadar perempuan tanpa nama.
Sampai saat ini pun gue hanya bisa berharap, jika waktunya tepat, gue bisa berkenalan dengan perempuan yang gue suka, pada sebuah kebetulan, dan akhirnya kami saling menyebut nama satu sama lain.

0 komentar:

Posting Komentar