Banyak
laki-laki dalam perjalanan hidupnya tidak sengaja bertemu dengan perempuan menarik
tapi engga berani ngajak kenalan. Perempuan itu pun pergi berlalu, berujung
dengan para laki-laki ini berandai: apa yang terjadi seandainya gue berani
ngomong sama dia?
Sama
seperti mereka, gue juga seperti itu. Gue sebut perempuan yang pergi berlalu
tanpa sempet bertukar nama ini sebagai ‘Perempuan Tanpa Nama’ karena sampai
sekarang gue engga tau nama mereka. Beberapa dari mereka sangat membekas di
ingatan gue. Inilah dua orang di antaranya:
Satu
Perempuan Tanpa Nama pertama gue
temui ketika masih Sekolah Menengah Pertama. Ketika itu gue masih duduk di
kelas 7. Saat masuk SMP, gue dari awal emang niat buat masuk eskul basket.
Bukan karena gue ingin populer di sekolah sebagai abas sebutan untuk
anak basket, namun gue terinspirasi dari komik yang gue baca waktu SD yaitu
Slam Dunk. Berbekal dengan itu gue berniat untuk masuk eskul basket, syukur-syukur
gue bisa kaya Rukawa. Buat yang belum pernah baca komik Slam Dunk, Rukawa ini
adalah karakter yang kemampuan basketnya luar biasa meskipun masih anak baru
dan di sisi lain dia emang cool penampilannya. Akhirnya, gue pun resmi
menjadi anak basket di SMP.
Gue menjalani latihan sangat rutin
yaitu tiga minggu sekali dan seharinya memakan waktu dua jam. Gue belajar
dasar-dasar bermain basket, mulai dari dribble, passing, rebound,
shooting, dan lay up. Setelah latihan sekitar empat bulan, tim
memutuskan untuk ikut serta dalam turnamen 41 Cup yang tentunya dihelat oleh
SMPN 41 Jakarta. Hari pertandingan pun tiba. Gue dan beberapa temen gue saat itu
berangkat dengan naik angkot yang mana semestinya kita mulai tanding jam dua
tapi gue baru sampe jam dua lewat lima belas. Angkot sialan emang itu, jalannya
lambat banget. Untungnya, pertandingan sebelumnya agak ngaret, jadi tim kita
terselamatkan.
Karena kita mulai tandingnya ngaret,
kita jadi bisa nontonin pertandingan dulu yang baru mau mulai di lapangan. Saat
itu pertandingannya adalah tim putri yaitu tim 41 B dan lawannya gue lupa dari
mana. Kalau sekolah ngadain turnamen, biasanya emang mereka menurunkan dua tim.
Tim A merupakan tim utamanya, sedangkan tim B merupakan tim yang notabenenya
diisi oleh anak baru. Jadi tim putri 41 B ini bisa dikatakan semuanya adalah
anak kelas 7.
Gue dan temen-temen nontonin di lapangan.
Saat itu memang kondisinya baru pemanasan. Gue ngeliat ke seluruh penjuru
lapangan, namun tiba-tiba pandangan gue terhenti di tempat di mana tim 41 B ini
lagi pemanasan lay up. Awalnya gue ngeliat sekilas ke seluruh tim, tapi lama-lama
gue memberikan fokus lebih ke salah satu pemain. Masih teringat jelas di memori
gue seperti apa penampilannya saat itu. Perempuan dengan postur yang agak
tinggi, berkulit putih, rambut panjang yang dikuncir, serta sepatu Nike
berwarna putih menemani balutan jersey warna merah dengan nomor empat puluh
satu di punggungnya.
Saat itu gue selalu ngeliat ke arah
mana dia bergerak selagi dia pemanasan. Tak lama kemudian, pertandingan dimulai.
Dia engga dimainin sejak awal. Gue saat itu mencoba untuk menonton jalannya
pertandingan, namun entah mengapa rasanya mata ini hanya mau menuju satu titik
di pinggir lapangan. Dia sedang memperhatikan bagaimana timnya bermain. Kuarter
satu pun selesai, begitu juga dengan kuarter kedua. Dia belum juga main. Pada
awal kuarter ketiga temen gue sempet nanya ke gue.
‘Woi’
ujar dia mengangetkan gue.
‘Kenapa?’
jawab gue.
‘Lu
dari tadi gue perhatiin ngeliat ke situ terus dah’
‘Kan
emang gue lagi nonton pertandingan’ gue ngeles.
‘Ye
maksud gue bukan ke lapangan, tapi ke bangku pemain 41 B’ ucap dia.
‘Emang
ada apaan sih?’ tambah dia.
‘Gaada
apa-apan’
‘Halah
jangan boong lu’
‘Ada
itu sih’
‘Tuhkan
ngaku juga lu. Yang mana?’ tanya dia seolah udah tau kalau gue emang lagi ngeliatin
salah satu pemain dari 41 B.
‘Nomor
41’ jawab gue singkat.
’41?’
tanya dia seraya mencari perempuan itu.
‘Oh
itu, lumayan juga sih. Terus?’
‘Terus
apaan?’
‘Ya
lu cuma mau ngeliatin dia dari jauh aja kaya gini?’
‘Gue
gatau’ jawab gue.
‘Yaelah
Chan. Coba aja lo ajak kenalan abis pertandingan ini’ saran dia.
‘Engga
berani gue’ jawab gue culun.
‘Masa
engga berani, gue temenin deh nanti. Santai aja’ ucap dia.
‘Liat
nanti dah’
‘Eh
dia mau masuk tuh’ ucap gue.
Akhirnya perempuan ini dimainin juga
sama pelatihnya di pertengahan kuarter ketiga. Untuk pertama kalinya di
pertandingan ini, gue ngikutin jalannya pertandingan. Lebih tepatnya ngikutin
ke mana perempuan ini bergerak di lapangan. Gue ngeliat bagaimana dia dribble,
bagaimana dia passing maupun rebound. Kemampuannya engga buruk
untuk seorang anak baru. Tak terasa kuarter ketiga pun selesai. Gue dan tim
harus ganti jersey dan pemanasan karena setelah ini kita yang main. Setelah pemanasan
singkat, gue kembali ke pinggir lapangan dengan waktu pertandingan menyisakan tinggal
di bawah satu menit. Saat itu gue ngeliat dia kembali di bangku pemain. Akhirnya
pertandingan pun selesai. Gue engga peduli dengan hasil pertandingan ini sebenernya,
karena pikiran gue saat itu adalah gimana caranya tim gue bisa menang setelah
ini. Ketika sudah selesai, temen gue yang tadi kembali nanya ke gue.
‘Jadi
engga?’ tanya dia.
‘Jadi
apa?’ gue tanya balik.
‘Itu
kenalan sama nomor 41’
‘Kayanya
abis pertandingan kita aja deh. Engga enak juga kan sama senior-senior, kita
kan harus pemanasan lagi’ ujar gue.
‘Yaudah.
Jangan nyesel lu ya’ kata dia seolah meyakinkan gue.
‘Iya’
tutup gue singkat.
Gue mengiyakan tawaran temen gue
tadi untuk kenalan dengan perempuan tersebut setelah pertandingan ini karena
gue harap pada pertandingan ini gue bisa main bagus dan mungkin dia nonton
pertandingan ini jadi ketika kenalan nanti dia mungkin udah sedikit notice gue
pas pertandingan. Itulah rencana gue. Terlihat bagus bukan?
Pertandingan pun dimulai, gue engga
diturunin di awal. Semua yang main senior. Kuarter pertama berlalu, kedua
berlalu, ketiga berlalu. Kita masih ketinggalan skor dan di sisi lain gue belum
dimainin sama sekali di tiap kuarter. Kampret dalam hati gue. Bisa-bisa rencana
gue gagal ini mah. Di saat itu, gue masih mencoba untuk berpikir positif, siapa
tau gue dimainin di pertengahan kuarter empat. Namun nyatanya? Gue engga
dimainin sama sekali. Sedih. Tim kita juga kalah. Meskipun begitu gue
menghormati keputusan pelatih. Bagaimanapun juga dia yang paling paham soal
ini. Mungkin juga dia mau memberikan kesempatan kepada pemain kelas 9 karena
ini merupakan turnamen terakhir mereka di SMP.
Setelah selesai pertandingan, gue
ganti baju. Kemudian temen gue kembali menanyakan hal tadi.
‘Jadi
engga?’ tanya dia.
‘Ayo.
Bantu gue tapi ya’ ucap gue.
‘Santai’
kata dia.
Kita
pun kembali ke pinggir lapangan untuk nyari
perempuan ini. Gue mengarahkan mata gue ke seluruh lapangan dan koridor
gedung namun engga meihat sama sekali keberadaannya dia.
‘Lu
ngeliat engga?’ tanya temen gue.
‘Engga
nih. Lu?’ gue nanya balik.
‘Engga
juga’
‘Terus
gimana dong?’
‘Ya
lu sih tadi engga mau. Sekarang orangnya udah gaada kan. Mau gimana lagi.
Nyesel kan lu’ ucap dia.
‘Yaudah
lah, mungkin gue bisa ketemu dia lagi nanti’
‘Yaudah
kita cabut aja Chan’
‘Oke’
Setelah itu kita pun memutuskan
pulang, Pada akhirnya gue hanya terpaku selama perjalanan pulang di angkot. Gue
menghela napas panjang, merenungkan yang terjadi hari ini. Tim gue kalah, dan
gue engga sempet kenalan dengan perempuan itu.
Selama hampir delapan tahun kemudian,
wajah perempuan itu masih terbayang di kepala gue seperti baru terjadi kemarin
sore. Kadang kalau gue lagi main basket, gue ngeliat ke pinggir lapangan, gue terbayang
wajahnya. Kadang, gue berpikir kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi kalau
aja waktu itu gue berani berkenalan, gue mungkin bisa pacaran sama dia, mungkin
sampai sekarang. Atau mungkin kami putus, dan dia akan menjadi cerita dan pengalaman
yang menarik di hidup gue.
Tapi itu tidak terjadi karena sampai
sekarang, perempuan tinggi berkulit putih dengan rambut dikuncir itu, tetap
menjadi Perempuan Tanpa Nama.
Dua
Perempuan Tanpa Nama berikutnya
memiliki postur yang agak tinggi dengan rambut hitam yang di gerai dan
mengenakan baju berwarna kuning tanpa lengan. Gue taksir usianya tidak beda
jauh dengan gue, mungkin sekitar 15 tahun.
Gue bertemu dia di XXI Pejatan
Village pada akhir tahun 2014. Saat itu, gue ke Pejaten Village sendirian
dengan niat untuk menonton film dan melihat beberapa buku di Gramedia. Sejujurnya
gue lupa film apa yang gue tonton saat itu, namun cerita di baliknya masih gue
inget sampai saat ini.
Gue dateng ke Pejaten Village dan
langsung naik ke lantai paling atas untuk menuju ke XXI. Gue selesai membeli tiket
dan menunggu di depan ruang bisokop. Sekitar lima belas menit kemudian, gue pun
memutuskan untuk menunggu di dalem. Gue duduk di bagian tengah mungkin sekitar baris
E. Sebelum film di mulai, biasanya ditampilin trailer dari film lain atau iklan.
Awalnya gue nunggu sambil twitteran. Kurang dari sepuluh menit film di mulai,
gue yang lagi asyik twitteran langsung mengalihkan fokus gue. Gue yang selalu
nunduk ketika sudah masuk bisokop, saat itu langsung memalingkan wajah menuju
seorang perempuan yang baru saja masuk. Perempuan ini masuk tidak sendirian,
melainkan berdua bersama adik laki-lakinya.
Dia pun sudah duduk di tempat
duduknya. Hanya beda sekitar tiga baris di depan serong kanan dari tempat gue.
Selama filmnya belum mulai, tadinya yang gue lakukan adalah twitteran jadi memperhatikan
perempuan ini. Manis ya dia dalem kepala gue. Setelah gue perhatiin lagi, penampilannya
mirip seperti artis Hanggini Purinda Retto. Tak lama berselang, film pun
dimulai.
Ketika filmnya main, fokus gue jadi sedikit
terpecah. Gue tetep ngikutin jalan cerita filmnya sambil bertanya-tanya dalam
hati. ‘Apa gue ajak kenalan dia ya?’
Pertanyaan itu terus terngiang di
benak gue selama film diputar. Pada penghujung film, akhirnya gue memutuskan untuk
ngajak dia kenalan. Film pun selesai, gue ngeliat dia masih duduk saat credit
title di awal naik, engga lama dia gandeng adiknya terus ke luar dari ruang
tersebut, Panik tidak ingin kehilanga dia, gue menimbang-nimbang opsi yang gue
punya sekarang berikut dengan keuntungan dan kelemahannya.
1. Nyamperin
dia minta kenalan. Keuntungan: gue bisa dapet namanya. Kelemahan:
saking groginya, ada kemungkinan gue ngomongnya bakal ngaco dan gue engga bisa
dapatkan dia selamanya.
2. Nyamperin
adiknya, basa-basi sama adiknya dulu, baru gue ngajak perempuan ini kenalan. Keuntungan:
gue bisa dapet atensi adiknya dan siapa tau perempuan ini jadi suka. Kelemahan:
ada kemungkinan gue basa-basi sama adiknya tapi adiknya malah mikir kalau gue
orang yang mau nyulik dia.
Dia
pun keluar dari bioskop, lalu gue ikutin sambil mandang dia dari jauh. Engga
lama langkah dia terhenti di depan restoran Bakso Jawir. Gue pun coba mendekati
dia. Kini jarak gue dengan dia kurang dari 10 langkah. Begitu dekat untuk
merealisasikan niat gue. Ketika gue perhatiin dari jarak segitu, perempuan ini emang
menawan. Asli.
Ketika
sudah sedekat itu entah mengapa gue mulai goyah. Gue jadi takut, bingung, dan panik.
Kaki gue terasa lebih berat untuk dilangkahkan. Jiwa-jiwa culun gue buat ngajak
kenalan perempuan mulai muncul kembali. Ah, kenapa harus di saat sepert ini sih
munculnya dalam kepala gue. Tidak sadar, perempuan ini pun sudah melangkah
pergi dari Bakso Jawir meninggalkan gue yang masih saja diam terpaku. Dia pergi
menjauh, untuk turun melalui eskalator. Itulah kali terakhir gue ngeliat dia. Awalnya
gue masih mau ngejar dia buat ngajak kenalan. Di dalem kepala, sudah terbayang
rencana seperti ini:
1. Gue
akan nyapa dia,
2. Gue
akan akan bilang kalau dia mirip dengan orang yang gue kenal (yang tentu saja
bohong),
3. Gue
akan minta nomor handphonenya untuk nanti sok-sok mengirimkan foto orang yang
gue kenal tersebut,
4. Kami
jadi sering ngobrol, lalu kami tunangan, menikah, dan punya anak. Oke, ini mengkhayalnya
kejauhan.
Namun
pada akhirnya gue hanya bisa terpaku. Gue biarkan dia pergi menjauh. Gue
memperhatikan dia turun dari eskalator. Rambutnya yang tergerai bergerak pelan
seperti ada angin yang meniupnya. Tangannya menggandeng adiknya turun. Gue menghela
napas panjang.
Enam
tahun berlalu sampai akhirnya gue menulis ini. Sampai sekarang setiap gue
nonton di Pejaten Village gue masih berharap bisa kembali bertemu dengan dia.
Namun, meskipun sampai sekarang gue masih sering nonton di Pejaten Village, gue
engga pernah ketemu dia lagi. Gue hanya tau dia punya rambut hitam yang indah.
Gue tidak tahu namanya siapa. Hingga bertahun-tahun ini, dia masih menjadi
Perempuan Tanpa Nama.
Sebenernya
di sela-sela hidup gue ada beberapa perempuan tanpa nama lainnya. Kadang pula
perempuan tanpa nama ini datang pada waktu yang salah. Seperti saat gue ketemu
perempuan dengan blues putih di salah satu mall. Saat itu gue lagi jalan
dengan pacar gue dan tentu saja gue engga bisa kenalan sama perempuan tersebut.
Engga etis banget gue masih punya pacar, terus tiba-tiba gue izin sama pacar
bilang, ‘Sebentar ya sayang, aku mau kenalan sama cewek yang lebih cantik dari
kamu itu’. Bisa-bisa mata gue dicolok pake pensil alis.
Kadang
gue berpikir apakah perempuan-perempuan tanpa nama yang gue temui di dalam kehidupan
gue ini bisa menjadi perempuan dengan nama yang mungkin bisa mengubah
hidup gue, atau membuat gue lebih bahagia daripada sekarang.
Kadang,
pada tengah malam, gue suka berpikir sebelum tidur. Apakah di antara
perempuan-perempuan tak bernama ini ada yang seharusnya menjadi jodoh gue,
menjadi salah satu perempuan yang membuat cerita-cerita bersama gue. Menjadi
seseorang yang punya peranan lebih daripada sekadar perempuan tanpa nama.
Sampai
saat ini pun gue hanya bisa berharap, jika waktunya tepat, gue bisa berkenalan
dengan perempuan yang gue suka, pada sebuah kebetulan, dan akhirnya kami saling
menyebut nama satu sama lain.
0 komentar:
Posting Komentar